020

331 50 5
                                    

Please don't be a silent readers

~

"Masih kenal saya?"

Zahra berdehem canggung. Setelah orang tua mereka memberikan sedikit ruang untuk mereka berbicara yang mungkin terlalu privasi, suasana canggung langsung menyelimuti mereka.

Tenang saja, mereka tidak benar-benar hanya berdua. Mereka masih berada di ruang tamu, bahkan masih duduk bersama dengan yang lain, hanya saja mereka berdua memilih untuk duduk di pinggir sofa yang membuat mereka duduk berhadapan.

Di sebelah Fiki masih ada mamanya, dan di sebelah Zahra pun masih ada Aa-nya yang masing-masing sedang sibuk bercengkerama.

"Kamu banyak berubah."

Ucapan di luar dugaan yang Zahra lontarkan mampu membuat senyum tipis Fiki tersungging. "Hm, sekarang saya udah salat subuh. Terakhir kita bertemu, kamu menanyakan hal itu, 'kan?"

Ah, ternyata ingatan pria itu cukup tajam. Sampai-sampai, pertanyaannya beberapa bulan lamanya itu masih tertancap di ingatannya.

Mereka berdua sama-sama diam dalam keheningan. Zahra sedari tadi hanya menunduk saja, sedangkan Fiki beberapa kali mencuri pandang pada wanita itu, lalu kembali mengalihkan pandangannya diselingi dengan istigfar dalam hati.

Fiki berdehem untuk menetralkan suasana. "Saya udah punya rumah. Saya udah punya kerjaan dan gaji tetap. Saya juga sehat lahir batin. Saya nggak punya riwayat penyakit kronis maupun penyakit keturunan lainnya. Mental saya sehat. Saya anak satu-satunya. Apa lagi yang ingin kamu tahu?"

Zahra menganga. Lengkap betul penjabaran pria itu, padahal Zahra tak meminta, ia pun juga tak terlalu ingin tahu. Luar biasa, pria itu mempunyai inisiatif yang cukup.

"Setelah menikah, kamu bisa memilih, ingin tinggal di rumah atau apartemen. Uang belanja dan uang nafkah berbeda, kamu nggak perlu khawatir. Kamu masih bisa bekerja kalau kamu mau. Untuk anak, saya mau punya anak, itu pun jika kamu siap, kalau belum, akan kita tunda. Saya libur di hari Sabtu dan Minggu, di dua hari itu saya akan selalu di rumah, jadi kamu tenang aja."

Cukup sudah. Zahra benar-benar tak habis pikir. Bagaimana bisa Fiki membeberkan itu semua tanpa diminta. Lagi pula, percaya diri sekali pria itu kalau setelah pertemuan ini, mereka akan langsung melangkah ke jenjang yang lebih serius.

"Tapi saya nggak bisa masak," ucap Zahra sedikit malu. "Eh, bisa, sih, tapi masakannya gitu-gitu aja."

"Ya udah, kita nggak usah makan."

Zahra melotot, ia jadi mendongakkan kepala, sehingga mata mereka bersirobok di udara. Naasnya, senyum menyebalkan khas Fiki itu kembali ia lihat. Zahra mendengkus, ternyata pria itu masih sama menyebalkannya.

"Hanya bercanda. Memasak bukanlah salah satu syarat untuk menjadi istriku."

Menggerutu di dalam hati adalah apa yang Zahra lakukan. Syarat katanya? Apakah Fiki pikir ia sedang mendaftar untuk menjadi istri dari pria itu?

"Informasi tambahan. Dari dulu sampai sekarang, niat saya masih sama seriusnya. Perasaan saya juga masih sama. Jadi, tolong jangan meragukannya."

"Kenapa saya harus menerima kamu?"

"Ya karena saya tampan."

Zahra mencibir, bola matanya memutar malas. Ia ingin menarik kata-katanya saat dirinya mengatakan kalau Fiki sudah banyak berubah. Karena, nyatanya, tidak ada yang berubah dari pria itu.

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang