023

351 49 4
                                    

Please don't be a silent readers.

~

"Fiki?"

Pria yang ia kenal itu terlihat berjalan mendekat sambil memperhatikan mobilnya. "Mogok?"

Zahra kembali tertarik ke bumi dari segala lamunannya tadi. Ia menggeleng. "Bannya kempis, nggak bisa lihat?"

Mendapat jawaban yang cukup ketus, membuat tawa Fiki pecah. Tak menyangka, baru juga datang, tapi wanita itu sudah menyemprotkan jawaban ketus padanya.

"Saya tahu, tadi basa-basi aja."

Zahra kembali mendengkus. Dipertemukan dengan Fiki dalam keadaan seperti ini bukanlah hal yang bagus. Yang ada, Zahra yakin kalau akan ada kesialan lainnya jika bersama pria itu.

"Kenapa kamu bisa di sini?" tanya Zahra penuh selidik. "Kamu nggak ngikutin saya, 'kan?"

"Kayaknya, ini salah satu dari beribu cara Allah mempertemukan kita. Alias, kalau sudah jodoh, mau gimana lagi?"

Rasa-rasanya, Zahra ingin sekali mencakar wajah penuh percaya diri itu. Senyum miring yang Fiki tunjukkan, membuat Zahra bergidik.

"Saya pikir, selama beberapa bulan yang kamu habiskan di pondok Abah, kamu berubah, tapi ternyata sama aja."

Fiki mengernyit. "Apanya yang sama?"

"Sama-sama menyebalkan!"

"Enggak tuh."

"Terserah!"

Sepertinya berbicara dengan Zahra memang tidak bisa membuatnya untuk tidak tersenyum. Bukan apa-apa, Fiki hanya gemas saja melihat wajah wanita itu yang bolak-balik merengut dengan cibiran tanpa suara yang wanita itu lakukan.

Fiki melihat sekitar, lalu kembali memperhatikan Zahra yang kini terlihat khawatir. "Mau saya antar pulang?"

Mendelik, Zahra menatap Fiki penuh kecurigaan. "Enggak."

"Terus, kamu mau bermalam di sini?"

"Enggak."

Fiki mengembuskan napas. Berusaha keras agar tidak menjawil hidung gadis itu. Bukan saja mereka belum mahram, tetapi pasti gadis itu akan marah kalau saja ia melakukannya.

"Nggak akan saya apa-apain," ucap Fiki meyakinkan.

Zahra menatap Fiki, sulit sekali percaya dengan pria itu. "Nggak ada pilihan lain selain harus sama kamu?"

"Eum, kayaknya nggak ada. Tempat ini tuh susah sinyal, Ra, untuk panggil taksi online, abang kamu, atau teman kamu, itu susah. Jadi, nggak ada pilihan lain selain pulang sama saya."

"Kamu nggak bisa ganti ban mobil saya aja?"

"Saya bukan montir."

Lagi-lagi Zahra mendengkus. "Terus mobil saya nanti gimana?"

"Jangan mempersulit hal yang mudah. Membuat mobil kamu sampai di rumah dengan selamat adalah hal yang mudah bagi saya, Zahra."

Karena tak menemukan pilihan lain dan langit yang terlihat makin gelap dengan beberapa tetesan air yang mulai terasa di kulitnya, mau tak mau Zahra harus menerima tawaran Fiki. Dia tak mau menyesali keputusannya jika menolak tawaran ini.

Sekarang, di dalam mobil yang hening ini, Zahra hanya akan berdoa agar tak terjadi apa-apa. Dan semoga saja omongan Fiki tadi bisa dipegang.

"Sesusah itu ya percaya sama saya?"

Zahra melirik Fiki dari ekor matanya. Dia tak menjawab, karena ia yakin kalau Fiki pun sudah tahu jawabannya. "Kamu belum jawab pertanyaan saya, kenapa bisa kamu lewat jalan itu?"

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang