027

396 51 5
                                    

Please don't be a silent readers.

~

Sehabis melaksanakan salat subuh di rumah, Zahra segera merapikan tempat tidur, sembari menunggu Fiki yang akan kembali dari masjid dekat apartemen mereka.

Sudah beberapa kali layar ponsel Fiki menyala, menampilkan notifikasi di layar kunci. Sejujurnya, dari tadi Zahra sudah mencoba untuk menghiraukannya. Namun, di sisi lain, rasa penasaran pun mendorong dirinya untuk mengambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas.

Dengan sedikit takut, ia mulai membuka layar kunci yang tentu saja Zahra mengetahui PIN dari ponsel tersebut. Apalagi kalau bukan tanggal pernikahan mereka. Dalam hati, Zahra bolak-balik meminta maaf pada Fiki atas kelancangannya, ya walaupun Fiki tidak akan bisa mendengar itu.

Nita: Selamat Pagi. Pak Fiki, Bapak masih marah?

Nita: Kemarin saya nggak bermaksud untuk menyentuh Bapak, saya hanya refleks.

Nita: Saya minta maaf atas kelancangan saya, saya benar-benar nggak bermaksud seperti itu. Saya pikir kemarin Bapak sakit karena Bapak terlihat murung, makanya saya khawatir dan ingin mengecek keadaan Bapak.

Nita: Pak Fiki udah salat?

Zahra memutar bola matanya malas. Ia meletakkan ponsel itu kembali pada tempatnya. Dia yakin kalau wanita bernama Nita ini adalah wanita yang sama dengan wanita yang melakukan percakapan di dalam toilet BI-soft.

"Bilang aja lo mau modus sama suami gue!" cibir Zahra sudah tak tahan.

"Assalamu'alaikum."

Zahra menoleh ke arah pintu kamar, melihat Fiki yang sudah pulang, dia segera berdiri. "Wa'alaikumussalam."

Kakinya melangkah mendekati pria itu, dan mengambil sajadah yang tadi sempat Fiki bawa ke masjid. Ya walaupun di masjid tetap ada alas untuk salat, tapi tetap saja, Fiki merasa tak lengkap kalau salat ke masjid tanpa membawa sajadah.

Cup

Entah setan apa yang pagi ini merasuki Fiki, hingga pria itu dengan berani mengambil kesempatan untuk mengecup puncak kepala sang istri. "Kenapa cemberut, lapar?"

Zahra mendengkus, dia berjalan untuk meletakkan sajadah di dalam lemari. Sengaja, ia tak mau menatap Fiki, dia tak mau kalau pria itu bisa menebak penyebab dari buruknya suasana hatinya pagi ini.

"Ponsel kamu bunyi terus tuh dari tadi," kata Zahra, yang dari nada suaranya tersirat kalau ada ketidaksukaan di sana.

Fiki mengernyit, dia melirik ponselnya, tak minat untuk mengambil ponsel itu. "Telepon?"

"Enggak, chat dari Nita." Rasanya malas sekali untuk Zahra menyebut nama wanita itu.

Fiki berdecak, tak menghiraukan, ia lebih memilih untuk merebahkan diri di atas kasur. Kalau bukan asistennya, mungkin sudah dari lama nomor wanita itu ia blok.

"Balas aja, takutnya penting."

"Enggak penting, Sayang."

"Emang dia siapa?"

"Asisten aku."

Zahra tak menanggapi lebih. Sebatas mengetahui hubungan wanita itu dengan suaminya saja sepertinya sudah cukup untuknya.

Fiki mengembuskan napas, ia menoleh pada Zahra yang sekarang sedang duduk di kursi meja rias. Wanita itu sudah mandi, dan sekarang sedang bersiap dengan skincare-nya. "Aku mau ganti asisten aja."

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang