030

623 65 5
                                    

Please don't be a silent readers.

~

Ting

Bunyi oven yang menandakan kalau kue yang dipanggangnya sudah matang membuat senyum Zahra terbit dengan lebar. Akhirnya, setelah menunggu kurang lebih 25 menit, kini kukis itu pun siap diangkat dari oven.

Aroma cokelat dari kukis itu menyeruak ketika Zahra meletakkannya di atas meja. Bayangan wajah Fiki langsung melintas di kepalanya, pasti pria itu akan suka dengan kukisnya kali ini.

Sebenarnya, tadi Zahra sempat kecewa karena Fiki harus pergi ke kantor di hari libur seperti ini. Katanya, ada server dari game mereka yang rusak, dan harus segera diperbaiki sebelum ada virus yang merusak servernya. Tapi tidak apa, Zahra akan tetap membuatkan kukis ini untuk Fiki.

Zahra mengambil duduk di stool bar, setelah menunggu suhu di kukisnya menurun, dia langsung mencicipi kukis buatannya. Pertama kali dalam hidupnya ia mencoba membuat kukis tanpa bantuan siapa-siapa selain resep di internet.

Andai ini adalah film kartun, maka sudah ada ledakan di atas kepala Zahra sebagai tanda kalau kukis buatannya begitu enak.

"Alhamdulillah, enggak gagal," ucap Zahra senang. Senyumannya tak kunjung luntur, apalagi ketika bayangan Fiki menghantui pikirannya kembali. Dia jadi tidak sabar melihat reaksi pria itu kala memakan kukisnya.

Setelah semua adonan kukis telah matang, Zahra langsung menyusunnya pada toples beling. Hanya ada satu toples beling di apartemen ini, untung saja ia tidak membuat kukisnya dengan porsi banyak, jadi akan muat kalau diletakkan di dalam satu toples saja.

Selepas semuanya selesai, Zahra langsung melepas celemek hitam yang ia gunakan. Ternyata, walaupun memasak adalah hal yang menyenangkan untuk dilakukan, kegiatan itu juga cukup menguras tenaga, terlebih lagi untuknya yang tak biasa memasak.

Zahra mengembuskan napas ketika melihat tumpukan alat masak yang kotor di wastafel. Beberapa adonan tadi pun ada yang berceceran. Sepertinya, kapal pecah adalah sebutan yang paling cocok untuk kondisi dapur Fiki saat ini.

"Yuk, semangat, dikit lagi beres!" ucap Zahra menyemangati diri sendiri. Walaupun, rasa-rasanya ia ingin menangis saking lelahnya.

Baru saja menyalakan keran wastafel, ia baru teringat kalau kemarin mereka lupa untuk membeli sabun cuci piring. Zahra lagi-lagi mengembuskan napas, cobaan macam apa ini.

Tak mau hanyut dalam keluhan, Zahra langsung berganti pakaian dan siap dengan khimarnya. Dia harus terbiasa dengan keadaan seperti ini, apalagi ketika sudah memiliki anak nanti.

Aku ke minimarket depan apartemen, ya? Mau beli sabun cuci piring, kemarin lupa beli.

Hati-hati. Maaf ya, aku nggak bisa bantuin.

Zahra tersenyum menatap layar ponselnya. Rasa lelahnya sedikit terobati ketika melihat balasan pesan dari Fiki. Padahal, pria itu datang ke kantor di hari libur karena ada hal penting. Namun, di tengah kepentingannya, pria itu masih menyempatkan diri untuk membalas pesan yang ia kirim.

Keluar dari lift, Zahra langsung berjalan keluar dari gedung apartemennya. Untung saja apartemen Fiki ini  berada di lokasi yang strategis. Hanya perlu berjalan kaki sebentar untuk sampai ke minimarket.

Seperti kebiasaannya, Zahra kalap. Padahal, niatnya kemari hanya ingin membeli sabun cuci piring. Namun, karena ia banyak melihat diskon di jajaran rak yang berisi macam-macam camilan, akhirnya Zahra jadi terpancing untuk membelinya. Seharusnya, mungkin tidak lebih dari dua puluh ribu jika ia hanya membeli sabun cuci piring berukuran normal. Namun nyatanya, ia jadi harus mengeluarkan uang berwarna merah untuk membayar semua total belanjaannya.

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang