019

265 47 0
                                    

Please don't be a silent readers.

~

Rasa mulas yang tak tertahankan terus Fiki rasakan. Tangan pria itu bergetar, tubuhnya panas dingin disertai dengan jantung yang berdebar kencang. Kalau kalian berpikir kali ini Fiki sedang sakit, maka kalian salah besar. Karena, apa yang sedang pria itu rasakan adalah beberapa efek samping dari kegugupan yang sedang melandanya.

Mendapat kabar baik dari wanita yang beberapa hari lalu ia kirimkan biodata membuat Fiki gugup tak kepalang. Zahra memang belum mengatakan iya, tetapi wanita itu sudah memberikan lampu hijau dengan mengizinkannya untuk datang ke rumah sebagai bentuk perkenalan.

Sejujurnya, Fiki tidak menyangka kalau wanita yang ia cintai itu akan memberikannya lampu hijau. Ya memang sih, ini bukanlah jawaban valid dari wanita itu. Namun, Fiki jadi dibuat semakin optimis dengan hubungan mereka ke depannya.

Dengan kemeja formal yang dipadukan dengan celana bahan membuat tampilan Fiki terlihat rapi. Jangan lupakan juga tatanan rambut dan juga minyak wangi yang menyeruak.

"Udah?"

Suara lain dari arah belakang membuat Fiki melirik dari pantulan cermin. Ia tersenyum ketika melihat mamanya yang sudah rapi dengan abaya disertai khimar yang menjuntai. Mamanya terlihat lebih cantik setelah memutuskan untuk menutup auratnya.

"Ma, Fiki sakit perut."

"Astaghfirullah. Mau pup?"

Fiki menggeleng bagai anak kecil. "Enggak, cuma mulas aja."

Renata mendengkus, ia berjalan mendekat, tangannya ia ulurkan untuk membenahi kerah kemeja anaknya yang sedikit tertekuk.

"Santai aja makanya, jangan deg-degan, jadi sakit perut tuh!" ujar Renata sambil menatap anaknya tak habis pikir.

Padahal, umur Fiki sudah tidak muda lagi. Pria itu sudah nyaris menginjak kepala tiga, tetapi entah kenapa dengan kebiasaan pria itu yang tak kunjung hilang dari saat kecil.

Mengambil selembar tisu dari atas nakas, Renata agak sedikit berjinjit untuk menyeka keringat anaknya. "Jangan gugup, nanti kamu jadi bingung mau ngomong apa."

Fiki mengangguk, susah payah ia berusaha mengontrol detak jantungnya. Padahal, tujuannya hari ini datang ke rumah Zahra hanya untuk bertaaruf, jika mereka saling merasa cocok, maka hubungan ini akan dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius.

"Berangkat sekarang, ya? Mama udah nggak sabar mau lihat perempuannya."

°°°°

"Udah ih, kamu duduk aja yang manis di ruang tamu, ini biar Umi yang siapin semuanya."

Zahra menggeleng, dari tadi ia kukuh kalau ingin membantu uminya menyiapkan hidangan untuk tamu yang akan datang. "Nggak papa, Umi, Zahra mau bantuin."

"Nanti kamu capek, Ra."

"Zahra kuat, Mi. Lagian nanti malah Umi yang kecapekan."

Rosa pasrah. Anak gadisnya itu memang keras kepala, jadi tidak akan ada habisnya jika terus memperdebatkan masalah sesepele ini jika dirinya tak mengalah.

Lagi pula, selain untuk meringankan pekerjaan uminya, Zahra juga sengaja melakukan kesibukan untuk mengalihkan pikirannya. Andai saja uminya ini tahu kalau ia sedang gugup karena ingin bertemu dengan seorang pria yang sedari dulu selalu ia hindari.

"Kalau dari ceritanya Abi, pria itu katanya sih baik, Ra."

Zahra hanya mengangguk kecil untuk merespons ucapan uminya.

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang