010

359 47 6
                                    

Please don't be a silent readers.

~

قَالَ ٱخْسَـُٔوا۟ فِيهَا وَلَا تُكَلِّمُونِ

"Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku."

Setetes cairan bening itu jatuh seakan membuat sungai kecil di pipinya. Pria yang sedang membuka kitab tebal yang diisi oleh ayat-ayat Al-Qur'an dan terjemahannya itu menangis saat matanya tak sengaja membaca terjemahan dari surah Al-Mu'minun ayat 108.

Di dalam musala yang kosong ini, terdengar suara isakan kecil yang keluar dari bibir bervolume miliknya. Siapa pun yang melihat pria ini sekarang, pasti mereka akan keheranan dengannya.

Punggung Fiki bergetar dengan dada yang makin lama terasa sesak. Matanya yang sudah memerah kembali menumpahkan cairan bening yang sudah sekuat tenaga ia tahan.

Memilih untuk berubah dan keluar dari belenggu kenikmatan sesaat yang membawa pada kesesatan adalah apa yang Fiki pilih sekarang. Pria itu sudah berhasil memilih untuk mengambil hidayahnya dan tak menyia-nyiakan kesempatan yang Allah berikan untuknya.

Membaca terjemahan dari ayat tersebut membuat dadanya terasa dihujam dengan benda tumpul nan berat. Sesak dan sakit sekali.

Otaknya menyusun rentetan segala perbuatan dosa yang pernah ia lakukan. Dosanya yang ia ingat saja sudah banyak, Fiki tak habis pikir akan sebanyak apa lagi dosanya, terlebih dari dosa-dosa yang sudah tak ia ingat lagi.

Potongan ayat tersebut memang tidak ditujukan langsung untuknya, tetapi ada ketakutan di nuraninya jika Allah mengatakan itu kepadanya.

Dulu, Fiki lebih takut kehilangan pencapaian dunia yang ia miliki, tetapi setelah membaca ayat itu, Fiki lebih takut jika ia kehilangan Allah dalam hidupnya.

Dulu, Fiki lebih takut ketika mendapati kemarahan mamanya, tapi sekarang, kemarahan Allah-lah yang mampu membuat ketakutannya bertambah.

Setelah bertahun-tahun lamanya ia tidak menyentuh Al-Qur'an, kali ini untuk pertama kalinya ia merasa tersentuh dengan ayat Al-Qur'an yang ia baca.

Rasa-rasanya kata terima kasih dan segala pujian serta rasa syukur tak bisa membalas semua yang Allah berikan untuknya. Hidayah yang sekarang ia rasakan seolah menjadi penanda betapa sayangnya Allah kepada seorang hamba.

Fiki menemukan ketenangan saat keningnya menyentuh sajadah. Fiki merasakan ketenangan saat lidahnya bergerak melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an. Fiki merasakan ketenangan ketika bibirnya basah saat melafalkan kalimat-kalimat pujian terhadap Allah.

Ketenangan yang tidak ia dapatkan di tempat gemerlap yang dipenuhi dentuman musik dengan banyaknya wanita berpakain minim yang sedang meliuk-liukkan tubuhnya.

Fiki tersenyum miris kala mengingat kebodohannya. Kalau dipikir, bagaimana bisa ia mencari ketenangan di tempat yang amat ramai dengan bau alkohol yang semerbak?

Ia kembali meneteskan air matanya. Di saat ia sudah dilumuri oleh dosa dan dipenuhi dengan kebodohan, Allah tidak pula meninggalkannya. Bahkan, sekarang Allah masih mau memberikannya petunjuk.

Ternyata ... Allah sebaik itu.

Allah tak pernah meninggalkan hambanya, tetapi kebanyakan dari seorang hamba yang meninggalkan-Nya.

Allah tak pernah marah walau Dia hanya diingat ketika seorang hamba sedang membutuhkan sesuatu.

Allah tak butuh kita, tetapi kitalah yang butuh Dia. Lantas, mau sejauh apa lagi kita pergi menjauh dari-Nya?

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang