Please don't be a silent readers.
~
"Umi, Zahra boleh tanya?"
Rosa yang sedang menonton televisi menoleh pada anak perempuannya. "Boleh. Kamu nih kayak sama siapa aja!"
Zahra tersenyum kikuk. "Eum, anu, Umi. Zahra mau tanya, kapan Umi jatuh cinta sama Abi."
Ah, pertanyaan yang mengharuskan Rosa untuk mengingat kenangan puluhan tahun lalu. Entah kenangan indah apa yang membuat wanita tua itu tersenyum. "Di saat Abi melafalkan ijab kabul, di saat itu pula Umi jatuh cinta."
"Sebelumnya, Umi emangnya enggak cinta sama Abi?"
"Bukan nggak cinta, Ra, tapi cinta itu belum tumbuh."
"Loh, kalau belum, kenapa Umi mau menikah sama Abi?"
"Karena Umi yakin sama keputusan Umi itu. Lagian, menerima ajakan Abi untuk menikah adalah jawaban dari tiap salat istikharah yang Umi lakukan."
Ternyata kisah cinta orang tuanya hampir mirip dengan kisahnya sendiri. Namun, kenapa kisah cinta uminya terlihat lebih mudah? Kenapa pula uminya bisa langsung jatuh cinta ketika abinya melafalkan ijab kabul.
"Ngomong-ngomong soal ini, kamu gimana? Udah pernah mengutarakan perasaanmu ke Fiki?" tanya Rosa. Tak bisa ditutupi kalau jiwa keingintahuannya mulai berkobar.
Embusan napas panjang Zahra keluarkan, wanita itu menggeleng lesu. "Belum, Umi."
Tentu saja jawaban yang tidak memuaskan itu membuat mata Rosa melebar. Tak habis pikir, sudah sebulan lebih pernikahan anaknya berjalan, tapi anaknya itu tidak pernah mengutarakan apa pun pada suaminya sendiri.
"Kamu yang benar aja, Ra?! Dari awal kalian menikah, kamu belum pernah bilang sama sekali?!"
"Zahra serius, Umi."
"Kenapa belum?" tanya Rosa gemas. Ah, anak muda zaman sekarang memang sulit dimengerti.
Zahra menundukkan kepalanya. "Zahra malu."
"Astaghfirullahaladzim, kamu tuh!" Rosa menepuk dahi. Dia benar-benar sudah tidak bisa lagi berpikir jernih. "Fiki itu kan suami kamu, lagi pula hubungan kalian udah sah, buat apa malu? Malu tuh kalau kamu berzina!"
"Zahra malu, Umi. Nanti kalau Mas Fiki ngeledekin Zahra gimana? Lagian, Zahra mau bilang apa ke Mas Fiki? Mas Fiki juga pasti tahu perasaan Zahra tanpa diberitahu kan, Mi?"
"Kamu tuh ya–astaghfirullah." Rosa mengembuskan napas. "Kamu tahu kan, hal yang sepele kayak gini tuh berpengaruh besar ke dalam hubungan pernikahan?"
Zahra mengangguk lemah. Mau bagaimana lagi, wong perkataan uminya itu memang benar adanya. Mau mengelak pun dia tak punya celah, karena memang dirinyalah yang salah.
"Ra, terkadang manusia itu butuh afirmasi. Walaupun sikap dan perilaku kamu menunjukkan kalau kamu cinta sama dia, tapi yang namanya afirmasi itu tetap perlu. Mau Fiki tahu atau enggak perasaan kamu yang sebenarnya, dia juga tetap butuh afirmasi langsung dari kamu. Seenggaknya, dia butuh afirmasi itu walau sekali dalam seumur hidup. Biarkan dia mendengar langsung perasaan dari mulut orang yang dia cintai, walah hanya sekali."
"Zahra tahu, Umi–"
"Kalau kamu tahu, kenapa diam aja?" Rosa menghela napas. "Kalau selama ini Fiki mengira kamu nggak cinta sama dia gimana? Kalau dia mengira segala apa yang kamu lakukan selama ini hanya sebagai bentuk tanggung jawab kamu sebagai istri, gimana?"
Betul juga apa yang uminya katakan. Kemungkinan besarnya, Fiki tak peka dengan bahasa cinta Zahra.
"Maka dari itu, afirmasi adalah salah satu bentuk keharusan di dalam suatu hubungan."
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY [END]
Romance[Berubah judul menjadi DESTINY] Ketenangan dalam hidup Zahra bagai diporak-porandakan setelah ada pria 'gila' bernama Fiki yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya mengambil peran. Fiki yang terobsesi untuk menaklukkan hati wanita itu membuatnya rela...