007

318 39 0
                                    

Please don't be a silent readers.

~

Nyatanya, Fiki goyah dengan keputusannya untuk menjauhi Zahra. Karena kenyataannya, sekarang ia sudah berada di dalam sebuah butik untuk menemui wanita itu.

Fiki tak mengerti kenapa sangat susah sekali untuknya menjauhi Zahra, padahal mereka pun tidak pernah dekat. Fiki tak bisa menahan diri untuk tidak melihat wanita itu barang satu hari saja.

Pria itu duduk di kursi lobi untuk menunggu kehadiran seorang wanita yang terus-terusan singgah di pikirannya. Tentu saja Fiki tidak memberitahu Zahra kalau ia sudah menunggu di lobi, kalau ia memberitahu, nanti yang ada wanita itu malah tidak mau muncul menemuinya. Jadi, Fiki lebih memilih untuk menunggu di lobi saja mengingat kalau butik ini juga akan segera tutup.

"Aku pulang duluan, ya, Kak."

"Oke, kamu hati-hati di jalan, ya."

"Iya, Kak. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Fiki yang tadi sibuk dengan ponselnya jadi mendongak ketika mendengar suara yang familier di telinganya. Dan benar saja, ia sudah dapat melihat wanita yang sedari tadi ditunggu-tunggu itu sedang berjalan sambil membenahi khimarnya agar menutupi bagian dadanya dengan sempurna.

Sontak Fiki tersenyum kala melihatnya, wanita itu benar-benar mampu untuk menjaga diri. Bangga sekali ketika mengetahui fakta itu.

"Assalamu'alaikum."

Zahra yang tadi masih fokus membenahi khimarnya jadi terkejut bukan main, ia menoleh ke samping ketika mendengar salam dari suara yang begitu ia kenali.

Melihat kalau itu adalah Fiki, buru-buru Zahra melangkah mundur untuk memberi jarak.

Fiki mendengkus. "Saya bukan setan, ngapain kamu kaget?"

"Saya juga tahu kalau kamu bukan setan, lagian salah sendiri datangnya tiba-tiba!"

"Berarti saya harus kabarin kamu dulu, ya? Oke, mulai besok saya akan chat kamu dulu sebelum datang ke sini."

Zahra mengembuskan napas. Susah sebenarnya berbicara dengan Fiki, pasti tidak akan ada habisnya dan tidak akan menemui ujungnya. Yang ada, berbicara dengan pria itu hanya akan menguras energinya saja.

"Kamu ngapain ke sini?"

"Widih, tumben nanyain," seru Fiki kegirangan, tapi tidak dengan Zahra yang malah melotot.

"Saya mau pulang. Kamu ada keperluan apa?"

"Saya mau ngomong sama kamu."

Zahra diam. Awas saja kalau Fiki malah berbicara hal yang tidak penting, Zahra tidak akan segan-segan untuk memukul pria itu dengan clutch yang ia bawa karena sudah sangat membuang waktunya.

"Tadi pagi saya salat subuh."

Zahra masih diam, ia jadi bingung apakah yang pria itu ucapkan adalah hal yang penting atau tidak. Zahra sendiri juga tidak tahu maksud dari pria itu yang sampai harus memberitahukannya segala.

"Waktu itu kamu bilang, jangan harap saya bisa menikahimu karena saya saja nggak bisa melaksanakan salat subuh."

Fiki yang melihat anggukan Zahra jadi menyunggingkan senyumnya. "Jadi, sekarang bagaimana? Saya udah salat subuh."

Zahra melongo mendengarnya. Sudah dibilang juga apa, pria itu memang benar-benar aneh dan begitu tidak bisa ditebak jalan pikirannya.

"Masih ada harapan untuk saya, 'kan?" tanya Fiki, ia ingin benar-benar memastikan. Setidaknya, Fiki ingin tahu, apakah masih ada harapan untuknya menikahi wanita itu atau tidak.

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang