017

418 52 0
                                    

Please don't be a silent readers.

~

Hari ini, Fiki terpaksa harus meninggalkan meeting. Bukan tanpa sebab, melainkan tadi ia baru saja mendapatkan telepon masuk dari pondok abah yang menyuruhnya agar segera ke sana karena ada yang ingin abah bicarakan.

Mendengar itu, Fiki tentunya tidak bisa menolak, mau tak mau ia harus mendahulukan pergi bertemu abah ketimbang melakukan meeting yang cukup penting itu. Untungnya, Bihan memaklumi dan memperbolehkannya untuk pergi.

Sekarang, di sinilah dia berada. Di dalam mobil dengan kecepatan rata-rata. Sebenarnya, ada jantung yang berdebar-debar di dadanya. Bukan apa-apa, Fiki hanya takut saja, tidak biasanya juga abah memintanya untuk datang mendadak seperti ini. Kalau sudah begini, pasti ada pembicaraan serius yang akan abah bicarakan.

Setelah menempuh perjalanan selama hampir 3 jam karena jalanan kota yang sangat padat, akhirnya mobil sedan itu menepi dan terparkir rapi di halaman rumah abah yang luas.

Turun dari mobil, matanya terfokus pada mobil lain yang juga terparkir di sana. Fiki bisa tebak, kalau ada orang lain juga yang sekarang sedang mengunjungi abah.

Tak terlalu memperdulikannya, Fiki kembali berjalan untuk menuju rumah abah yang pintunya sudah sedikit terbuka. Hanya sedikit, karena itulah Fiki jadi tidak dapat melihat ada siapa di dalam sana.

Tok tok tok

Pintu ia ketuk, tidak lupa juga dengan salam yang terucap dari bibirnya. Kakinya tak kunjung bergerak sebelum ia mendapatkan izin dari sang pemilik rumah untuk masuk.

"Wa'alaikumussalam. Masuk, Nak."

Suara abah. Abah memang tak menampakkan dirinya, tetapi Fiki tahu betul kalau suara itu memang milik abah. Karena sudah mendapatkan izin dari sang pemilik rumah, dengan penuh kesopanan Fiki sedikit mendorong pintu di depannya, memberikan ruang agar tubuhnya dapat masuk ke dalam.

Tepat berada di ruang tamu, Fiki dapat langsung melihat kalau ada sesosok pria lain yang sedang duduk berbincang dengan abah.

Fiki mendekat pada abah, menyalami tangan abah sekaligus tangan pria tadi yang sekarang sedang menatapnya dengan senyuman hangat.

"Duduk, Nak," ucap abah.

Fiki mengangguk, tanpa perlu memilih-milih tempat duduk, ia memutuskan untuk duduk di samping pria setengah baya berkemeja putih itu.

Sampai detik ini, Fiki sama sekali tidak tahu siapa pria itu. Dari tampilannya yang terkesan rapi nan formal, Fiki yakin kalau pria itu adalah seorang pebisnis.

"Nak, kenalkan, ini Pak Pratama. Pratama ini adalah murid abah, sama sepertimu."

Fiki menatap pria di sebelahnya dengan seulas senyum, kepalanya mengangguk kecil dengan tangan yang terulur ke depan. "Saya Fiki, Pak."

Pria dengan nama Pratama itu makin tersenyum lebar, menunjukkan rasa senangnya ketika mengenal pria muda di depannya. Tanpa berpikir panjang, ia menyambut uluran tangan itu. "Berapa umurmu, Nak?"

Sedikit terkejut mendapatkan pertanyaan yang tak biasa ditanyakan pada pertemuan pertama, Fiki jadi menggaruk tengkuknya canggung. "29 tahun, Pak."

"Umur yang sudah cukup matang untuk menikah," celetuk Pratama sembari menatap abah dengan penuh maksud.

Fiki yang berada di antara dua manusia itu benar-benar tak mengerti dengan apa yang sedang mereka rencanakan. Untung saja salah satu dari mereka adalah abah, yang mana Fiki jadi masih tetap dapat untuk berpikir positif dan tidak suuzan pada rencana mereka.

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang