024

311 46 0
                                    

Please don't be a silent readers.

~

Setelah melewati beberapa hari yang penuh dengan pertimbangan serta persiapan yang matang. Akhirnya, sampailah mereka di hari ini. Hari di mana resepsi mereka akan terlaksana sebentar lagi.

Setelah akad nikah dilafalkan, doa setelah ijab kabul dilantunkan, dan adanya sedikit perbincangan, tidak pakai lama, mereka segera dipisahkan untuk kembali ke ruang masing-masing guna bersiap mengganti pakaian untuk menyambut resepsi yang akan terlaksana sehabis salat zuhur.

Zahra yang sedang fokus pada cermin untuk melihat tatanan hijabnya mau tak mau harus melirik layar ponselnya yang menyala, menampilkan sebuah notifikasi yang membuat matanya sukses membulat.

Fiki: Sayang?

Zahra melirik penata rias yang tiba-tiba saja tersenyum. Pasti penata riasnya itu melihat pesan singkat dari Fiki, karena tadi ia sempat meningkatkan layar ponselnya ketika dalam perjalanan, dan lupa untuk mengembalikannya pada kecerahan normal.

"Masih malu-malu ya, Mbak?" tanya sang penata rias.

Zahra tersenyum canggung. Sepertinya tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain itu. "Iya, Mbak, sedikit."

Penata riasnya kali ini bernama Mala, ia adalah orang yang direkomendasikan oleh Adsila langsung. Katanya, Mbak Mala inilah orang yang sama di balik riasan pengantin Adsila kemarin.

Sebenarnya, persiapan pernikahan Zahra tergolong mudah, karena banyak sekali yang membantu. Dari penata rias yang dipilihkan oleh Adsila, gaun pengantin yang didesain langsung oleh sahabatnya itu, serta bagian wedding organizer pun direkomendasikan oleh Laila.

"Wajar kok, Mbak. Setiap pengantin baru pasti selalu begitu."

Zahra hanya mengangguk kecil, tak pintar juga untuk membuka obrolan.

"Tapi suami Mbak Zahra kelihatan sayang banget loh sama Mbak. Dari matanya kelihatan tulus. Semoga sakinah, mawadah, dan warahmah ya, Mbak."

Zahra kembali mengangguk, kini disertai dengan bibir yang tersungging ke atas. "Aamiin. Terima kasih, Mbak."

Drrtt drrtt

Perhatian Zahra kembali tertarik pada benda pipih di atas meja, ia mengembuskan napas ketika melihat nama Fiki tertera di layar.

"Angkat aja, Mbak. Riasannya juga udah mau selesai kok, tinggal pakai lipstik aja," kata Mala yang terlihat cukup peka terhadap situasi.

Berdehem sekali, Zahra baru mengangkat teleponnya. "Assalamu'alaikum. Kenapa?"

"Wa'alaikumussalam. Kangen."

"Kamu lagi sama siapa?"

"Mama. Kenapa? Kangen juga sama aku?"

Zahra mendelik. Tak habis pikir, bisa-bisanya Fiki meneleponnya dan mengatakan kalau pria itu rindu padanya di depan mamanya sendiri. Sepertinya pria itu sudah kehilangan akal sehatnya.

"Udah ya, mau aku tutup."

"Buru-buru banget, nggak kangen apa?"

"Nanti kan ketemu."

Tanpa Zahra ketahui, ucapannya yang terlontar tanpa dipikir panjang itu membuat senyum lebar Fiki terukir. Wajah pria itu tampak bahagia. "Batalin resepsi aja kali, ya? Aku mau cepat di rumah aja, biar bisa bareng kamu terus."

Zahra mengembuskan napas panjangnya. Ia berusaha sabar menghadapi pemikiran Fiki yang tak masuk akal. "Kamu aneh. Udah ya, aku tutup."

"Padahal masih kangen." Terdengar embusan napas dari seberang sana. "Ya udah, sampai ketemu nanti ya, Cintaku!"

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang