028

409 48 3
                                    

Please don't be a silent readers.

~

"Nita udah resign."

Mata Zahra sukses membulat lebar, untung saja dia tidak menyemburkan makanannya ke wajah Fiki. "Gara-gara aku, ya?"

"Bukan, Sayang."

"Terus? Kok tiba-tiba?"

Fiki mengembuskan napas, dia mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan hitam yang disediakan di kafe ini. "Aku nggak tahu. Kemarin, aku pecat dia jadi asisten. Terus, hari ini katanya dia malah resign."

"Ya kamu pecat dia jadi asisten karena aku, 'kan?"

"Ya, iya, sih. Eum, tapi emang kinerja dia beberapa hari ke belakang tuh menurun, bahkan memburuk. Dia jadi teledor, yang ngebuat aku dan staf lain harus kerja dua kali." Fiki menangkup tangan Zahra yang bertengger di meja. "Jadi, ini bukan salah kamu, Zahra."

Zahra mengembuskan napas berat, raut wajahnya berubah. "Tapi tetap aja, aku nggak enak sama dia."

"Seharusnya kamu senang."

"Senang? Di atas penderitaan orang lain?"

"Seenggaknya, kamu nggak perlu overthinking kalau aku ke kantor."

Zahra mendelik. "Siapa juga yang overthinking?!"

"Kamu."

"Enggak, ya!"

"Kamu suruh Adsila melalui Bihan untuk pantau aku, 'kan?" tanya Fiki, alisnya terangkat. Ekspresi jahil itu kembali muncul.

Zahra berdecak. "Bihan kurang pro," gumamnya jengkel.

"Lagian, mau seluruh wanita di dunia ini suka sama aku, kalau aku pilihnya kamu, mereka bisa apa?"

"Tapi wanita di seluruh dunia ini enggak suka kamu, bahkan nggak kenal kamu," seru Zahra cuek, ia kembali melanjutkan makannya.

Jleb

Sepertinya gombalan Fiki kali ini tidak masuk ke dalam obrolan. "Itu tuh hanya perumpamaan aja, Zahra."

Zahra hanya manggut-manggut. Tak begitu peduli, yang ia pikirkan sekarang hanyalah bagaimana caranya agar perutnya kali ini terisi dengan baik.

"Besok kamu ada rencana ngapain?" tanya Fiki yang telah menyelesaikan makannya dari tadi.

Zahra terlihat diam, tampaknya ia sedang mengingat-ingat. "Enggak ada, sih. Besok hari Sabtu, aku nggak ada jadwal pemotretan."

"Alhamdulillah. Aku juga libur. Jadi, gimana kalau besok kita mulai belanja bulanan?" tanya Fiki menawari.

Zahra tampak menimang-nimang tawaran Fiki. Dengan ragu, dia menjawab, "Masalahnya ... aku nggak tahu apa yang harus dibeli kalau belanja bulanan kayak gitu."

"Nanti, pulang dari sini, kita cek apa aja yang nggak ada di apartemen. Sekalian, kita harus beli bahan makanan apa aja."

"Nah, itu juga jadi masalah."

"Masalah apa lagi?" tanya Fiki bingung. Agaknya banyak sekali yang menjadi permasalahan wanita itu.

"Kalau beli bahan makanan, aku belum bisa masak," cicit Zahra, sedikit malu untuk mengatakannya.

Fiki tersenyum, ia mengusap kepala yang tertutup khimar itu. "Aku tahu, sebelum kita menikah, kamu kan udah bilang masalah ini. Tapi nggak papa, kita harus tetap beli, seenggaknya, masih ada aku yang bisa masak."

"Ya ... semoga enak."

Kali ini, Fiki yang mendelik. Ucapan Zahra tadi seakan meremehkan kemampuan memasaknya. "Aku udah tinggal sendirian dalam waktu yang cukup lama, Ra. Jadi, urusan memasak bukanlah hal yang besar buat aku."

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang