004

418 45 0
                                    

Please don't be a silent readers.

~

"Assalamu'alaikum, Calon istri."

Zahra berjengit kaget ketika mendengar suara familier itu dari arah belakang. Zahra yakin kalau ia tidak salah dengar, karena suara itu benar-benar terdengar jelas di telinganya.

"Hai, selamat pagi."

Benar kata Zahra, ia memang tidak salah dengar. Buktinya, yang tadinya hanya terdengar suara saja, kini sudah ada wujud asli dari seorang pria yang berdiri di sampingnya.

"Jawab salam saya dong."

Menunduk dan melangkah mundur adalah hal pertama yang Zahra lakukan. Selain karena itu adalah sebuah keharusan, Zahra juga sedikit merasa takut pada pria itu. Siapa lagi kalau bukan Fiki. Pria yang sudah layak untuk mendapatkan label 'gila' dalam hidupnya.

Padahal, tadi Zahra sudah bisa langsung masuk saja ke dalam butik, tapi karena saking terkejutnya, ia sampai dibuat diam mematung dan berakhir seperti ini.

Zahra sendiri tak habis pikir dengan pria bernama Fiki yang sudah muncul di pagi hari begini. Apakah pria itu tidak ada kerjaan lain? Itulah yang ada di benak Zahra saat ini.

"Kenapa takut, sih? Saya orang baik-baik, loh."

Zahra mendengkus. "Orang baik nggak akan bilang kalau dirinya baik."

"Oh, saya paham maksud kamu." Fiki manggut-manggut sok mengerti. "Saya ulangi, ya. Kenapa takut, sih? Saya orang jahat, loh."

Apakah memukul orang itu mendapat pahala? Kalau iya, maka Zahra akan langsung memukul wajah Fiki saat ini juga. Sungguh, pria itu sungguh di luar dugaan.

"Kalau nggak ada keperluan, jangan temui saya."

"Ada kok. Saya ada keperluan untuk datang ke sini," balas Fiki membela diri.

"Apa?"

"Saya hanya ingin memastikan kamu."

"Astaghfirullah." Tanpa sadar, kalimat istigfar itu keluar dari mulut Zahra. Sudah terlihat jelas kalau wanita itu sedang menahan diri agar tidak terpancing emosi.

Seolah tak peduli dengan raut sebal milik wanita di depannya, Fiki kembali bicara, "Pertanyaan saya tadi malam belum kamu jawab. Kamu berniat menikah di umur berapa?"

Pertanyaan barusan sukses membuat Zahra mengangkat kepalanya, ia menatap Fiki. "Bukan urusan kamu."

"No. Jelas ini ada urusannya sama saya. Jadi, jawab aja, kamu siap menikah di umur berapa?"

"Saya akan menikah kalau jodoh saya udah datang."

"Mata kamu nggak bermasalah, 'kan?"

Zahra mendelik tajam. "Nggak."

"Berarti kamu bisa lihat saya, 'kan?"

Kalau saja ada pilihan untuk tidak melihat Fiki, maka Zahra lebih memilih agar tidak melihat pria itu saja daripada harus diganggu terus seperti ini.

"Saya nggak buta, saya bisa lihat kamu!"

"Nah, berarti seharusnya kamu tahu, kalau jodoh kamu itu udah datang."

Keberanian Fiki patut untuk diacungi jempol. Bisa-bisanya ia begitu percaya diri dengan ucapannya. Bahkan, seharusnya ia sadar kalau dirinya dan wanita itu tidaklah sepadan. Ibaratnya, Zahra adalah bongkahan berlian, dan dirinya hanyalah serpihan batu kerikil yang tidak ada apa-apanya.

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang