021

308 49 5
                                    

Please don't be a silent readers.

~

Day-1

Deretan huruf yang merangkai sebuah kata ia torehkan dengan spidol biru di sebuah buku catatan kecil miliknya. Zahra menatap tulisan itu lamat-lamat, ini hari pertamanya untuk menjalankan aksi yang sudah ia rencanakan semalam.

Melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi membuat Zahra segera bersiap turun ke bawah. Ia sudah ada janji dengan Adsila di jam 10.30 nanti, ia sengaja meminta bantuan wanita itu untuk memperlancar aksinya.

Mobil hitamnya melesat di jalanan ibu kota yang cukup padat. Untungnya, tak sampai 30 menit, mobilnya itu sudah terparkir di halaman sebuah butik tempatnya bekerja. Melirik jam di pergelangannya, Zahra mengembuskan napas lega, ia tidak terlambat.

Bibirnya tertarik ketika melihat seorang wanita muda keluar dari butik dengan sebuah paper bag yang dibawa. Langkah wanita itu mendekat ke mobilnya, hingga suara hendel mobil terbuka pun terdengar.

"Assalamu'alaikum," sapa wanita tadi. Dia adalah teman dekat Zahra sekaligus salah satu orang yang ingin Zahra temui hari ini, Adsila.

"Wa'alaikumussalam. Berangkat sekarang?"

Wanita berkhimar gading itu mengangguk. "Boleh, aku sudah bilang suamiku, dan dia mengizinkan."

"Syukurlah. Baik, kita berangkat sekarang," ucap Zahra yang langsung menginjak pedal gas.

Mobil itu melaju di kecepatan normal, bahkan nyaris pelan karena jalanan yang mulai semakin padat. Beberapa lampu merah yang mereka lewati membuatnya mau tak mau bolak-balik berhenti demi mengikuti aturan negara.

Menyandarkan punggungnya di kursi mobil dengan tangan yang mengetuk-ngetuk setir untuk menghilangkan kebosanan di mobil adalah apa yang Zahra lakukan. Sebenarnya tidak hanya itu, karena otaknya dipaksa untuk terus bekerja menyusun cara apa yang akan ia lakukan nantinya.

"Kisah cintamu sepertinya happy ending, Sil."

Kepala yang tadi ia tolehkan ke arah jalan, kini berubah menjadi menatap Zahra yang baru saja berbicara. Seulas senyum tipis ia lemparkan. "Kelihatannya begitu, ya?"

Zahra mengangguk, dalam hati ia ikut senang dengan akhir bahagia dari kisah sahabatnya. "Bagaimana caranya?"

Adsila tertawa, tertarik dengan pembicaraan mereka, ia mengubah posisinya jadi menghadap Zahra sepenuhnya. "Aku nggak tahu, yang jelas, caranya sangat sulit."

Zahra mengembuskan napasnya, pedal gas kembali ia injak karena warna lampu lalu lintas di sana sudah berubah.

"Kami bisa sampai di titik ini bukanlah perkara yang mudah, Ra, kamu pun tahu, 'kan? Awal-awal, sangat sulit bagiku untuk menerima ini semua, begitu juga dengan Bihan."

"Ya ... aku tahu."

"Kalau dilihat-lihat, posisimu di sini enggak terlalu sulit kok, Ra. Maksudku, kamu masih diberi kesempatan untuk menolak jika kamu memang merasa nggak cocok. Ini bukanlah perjodohan seperti apa yang aku alami."

Lagi-lagi Zahra mengembuskan napas, membenarkan perkataan Adsila. Sebenarnya, tugasnya memang tidak terlalu sulit, hanya bisa mengatakan iya atau tidak dengan segala pertimbangan yang ada. Awalnya memang seperti itu, tapi ketika orang itu adalah Fiki, entah kenapa jadi banyak sekali pertimbangan yang bertengger di kepalanya.

"Sebenarnya kamu suka sama Fiki atau enggak?"

Pertanyaan bodoh yang seharusnya tak Adsila tanyakan, karena wanita itu pasti sudah mengetahui jawabannya. "Enggak."

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang