008

312 44 3
                                    

Please don't be a silent readers.

~

Seperti apa yang Bihan sarankan padanya tadi malam, sekarang di sinilah Fiki berada. Di sebuah rumah yang baru beberapa hari yang lalu ia datangi. Iya, kali ini Fiki menuruti saran yang Bihan berikan padanya.

"Sehat, Nak?"

Kedatangan abah membuat bibir Fiki tertarik ke atas. Entahlah, pria renta itu seakan memberikan aura positif yang ikut menular padanya.

"Alhamdulillah Sehat. Abah gimana?"

Abah hanya mengangguk dengan senyum tipis, lalu ia mengambil duduk di kursi kayu yang berada tepat di depan Fiki.

"Gimana sekarang?"

Pertanyaan yang baru saja abah ajukan tidak mendapatkan jawaban. Fiki hanya bisa diam tak berani menatap mata abah.

Jujur saja, Fiki malu pada abah. Padahal, abah hanya meminta agar dirinya meluruskan niat, tapi hanya disuruh begitu saja Fiki tidak bisa.

Abah yang sudah paham langsung menampilkan senyum pertanda memaklumi. Sudah bisa ia tebak kalau permintaannya adalah perkara yang sulit bagi anak muda di depannya.

"Kamu serius mau belajar, 'kan?"

Tak pakai pikir lama lagi, Fiki langsung mengangguk mantap.

"Kalau kita mulai sekarang bagaimana?"

Mata Fiki melebar dengan ekspresi yang terlihat terkejut. Bukan, ia bukan terkejut karena belum siap. Namun, masalahnya adalah, dirinya saja belum menuruti permintaan abah yang bisa membuat pria itu mengajarinya.

"Tapi, Bah ... niat saya—"

Abah kembali tersenyum. "Nggak papa. Abah mengapresiasi kemauan kamu untuk belajar. Jadi, kita bisa belajar mulai hari ini."

"Ini serius, Bah? Saya tetap bisa belajar walaupun niat saya belum lurus karena Allah?"

"Kamu mau meluruskan niat, 'kan?"

Fiki mengangguk lagi.

"Bagaimana kalau kamu mondok saja di sini?"

Kali ini Fiki tidak melebarkan matanya, tidak juga membuka mulutnya. Pria itu terlihat diam, walaupun di dalam hati begitu sangat terkejut.

Hei, dirinya itu sudah hampir menginjakkan kaki di umur 30 tahun. Lalu, bagaimana bisa pria itu malah mondok di tempat anak-anak remaja. Apa tidak malu?

Fiki tahu, kalau menuntut ilmu itu tidak ada batasan usia. Namun, egonya berkata tidak untuk hal ini. Fiki benar-benar malu jika harus menyatu dengan anak-anak remaja, sedangkan dirinya sudah nyaris masuk ke umur 30 tahun. Bukankah nanti Fiki akan menjadi om bagi remaja-remaja itu? Ah, membayangkannya saja membuat Fiki jadi geli sendiri.

Walaupun sebutan om sudah dapat disematkan pada dirinya, Fiki tetap tidak suka. Umurnya memang sudah matang untuk dipanggil om, tapi Fiki merasa kalau wajahnya masih terlalu muda untuk umurnya yang sudah nyaris kepala tiga.

"Kita coba dulu dalam sebulan bagaimana? In Syaa Allah, selain ilmu yang kamu dapat, kamu pun bisa dapat meluruskan niatmu sekalian."

Kalau sudah seperti ini, Fiki sudah tidak bisa lagi menolak. Syukur-syukur sekarang abah masih mau mengajarinya, padahal niatnya saja belum ia luruskan seperti permintaan abah padanya.

DESTINY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang