Bab 29 : Xiamen : The Consent

1.5K 291 10
                                    

Benny keluar dari kamarnya dengan terburu-buru. Tangan kirinya menyeret koper, sementara tangan kannya menggetuk pintu kamar Vina.

"Vin ..." Benny mengetuk lagi, tapi Vina tidak membuka pintunya.

"Ben-- tidak ada waktu lagi," teriak Sarah. Benny terpaksa berjalan setengah berlari mengikuti langkah-langkah panjang Sarah. Sarah memacu mobilnya menuju Airport.

"Kemarin malam apa yang terjadi?" tanya Sarah ketika mereka berada di jalan tol.

"Eh ... hmm." Benny menggaruk kepalanya.

"Apa Vina ingin tidur di kamarmu?" tanya Sarah tanpa tedeng aling-aling. Matanya menatap lurus ke jalanan di depannya, Benny tetap salah tingkah.

"No."

"Jadi?"

"Aku minta dia tinggal sepuluh menit, lalu Vina ketiduran," jawab Benny.

"Waktu Vina ketiduran, kamu sudah tidur?" Suara Sarah tetap tenang, tetapi ketenangan Sarah justru membuat Benny gelisah.

"Belum," aku Benny jujur.

"Jadi ada saat dimana Vina sudah tidur dan kamu masih belum. Apa kamu mencoba membangunkan Vina?" tembak Sarah.

"Tidak. Listen Sarah. I didn't do anything. I just watched her sleep until I fell asleep too. We're going to get married soon!"

Sarah menarik napas panjang lalu menoleh ke arah Benny. "Masalahnya bukan kamu melakukan sesuatu atau tidak, Ben. Masalahnya Vina didn't give her consent to stay all night with you. Kamu bisa membangunkan Vina dan memintanya pindah. Tapi kamu tidak lakukan. You violated her consent, her trust! Kita berusaha membangun kepercayaan diri Vina bahwa ia punya hak penuh atas tubuhnya, atas waktunya dan bahwa kamu tidak akan melakukan sesuatu di luar consent yang ia berikan. Tindakanmu kemarin keliru," jelas Sarah.

Benny menatap keluar jendela.

"You exploit her trust, Ben."

"Aku akan minta maaf," gumam Benny.

"Harus. Katakan kamu menyesal karena kamu sebenarnya punya peluang untuk membangunkan dia, tapi kamu tidak lakukan."

"Okay," gumam Benny. Benny sebenarnya berpikir mengapa untuk hal seperti ini harus dibesar-besarkan? Namun ia teringat, kondisi Vina sebagai penyintas membuat hal yang seperti wajar untuk orang lain, bisa berdampak besar bagi Vina. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelpon tunangannya.

***

Singapura, akhir Januari 2005

Hiasan lampion-lampion merah dan pohon-pohon jeruk menghiasi gedung yang ia masuki. Suara lagu barongsai terdengar memekakkan telinga. Pria itu berjalan dengan cepat, ia sama sekali tidak mengindahkan keramaian di sekitarnya. Pikirannya fokus ke satu arah. Mencari jejak gadis itu yang tiba-tiba menghilang. Ia melihat daftar friends di friendsternya mencari rekan SMAnya yang mungkin mengetahui keberadaan gadis itu. Terdengar suara panggilan masuk ke handphonenya, Mami.

"Ya Mi?" tanyanya dengan nada malas.

"Kamu ke Seletar sekarang," perintah maminya dengan nada panik. "Papi memburuk Engku lagi pesenin pesawat buat medical evacuation."

Damn it ...

"Seletar sekarang! Jangan lupa telpon Dr Ng. Helena sudah atur kamar buat Papi di Mt E suite," berondong suara Maminya memberi perintah. "HALO! Kita sudah sampai bandara. Kamu denger enggak?"

"Iya Mi," jawabnya malas-malasan. "Seletar sekarang."

"Okay, Mami sudah mau boarding." Telepon langsung ditutup.

Love In Six Cities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang