Bab 30 : Jakarta - The Dinner

1.7K 315 19
                                    

"Semua sudah di-packing?" tanya Sarah dari pintu. Vina menutup kopernya dan menarik resleting di sekitar kopernya.

    "Sudah, Cik." Mata Vina melihat ke seluruh kamar. Semua barangnya sudah dikemas dalam koper. Sarah duduk di atas ranjang dan tersenyum lebar.

"I'm so happy for you," Mata Sarah berbinar-binar.

    "Trims, Cik buat semua bantuannya selama ini."

    "You're much welcome," jawab Sarah hangat. "Ada beberapa pesan untuk kamu." Sarah menyodorkan sebuah buku. Vina membaca judulnya. "The Hiding Place, Corrie Ten Boom."

      Sarah menjelaskan bahwa Corrie Ten Boom adalah salah seorang Holocaust survivor. Kakak perempuannya meninggal hanya beberapa hari sebelum tentara sekutu membebaskan mereka.

    Seutas senyum terus mengembang di wajah Sarah. "I'm so proud of you. Kemajuanmu pesat. Tapi ada hal-hal yang kamu harus selalu ingat. Yang pertama, ini bukan salahmu."

    Vina mengangguk. "Aku tau, Cik."

    Sarah membuka buku Hiding Place dan membacakan sebuah kalimat dari dalam buku itu. 

"Do you know what hurts so very much? It's love. Love is the strongest force in the world, and when it is blocked that means pain. There are two things we can do when this happens. We can kill that love so that it stops hurting. But then of course part of us dies, too. Or we can ask God to open up another route for that love to travel."

    Seraya menutup bukunya, Sarah menatap Vina lekat-kekat. "Kamu tahu apa kendala terbesar hubunganmu dengan Benny? You try to block his love. Kamu mencoba untuk menutup pintu hatimu. Kamu harus berhenti lakukan itu. Let God and Benny love you." Sarah menarik napasnya sejenak. "Kita tahu Benny orangnya seperti apa. He will still be the same Benny yang kadang enggak sabar, yang kadang emosian. Tapi kamu harus kasih Benny kesempatan. Kasih dirimu kesempatan."

Kedua tangan Sarah menjangkau tangan Vina dan menaruhnya di pangkuan Sarah. "Love is larger and stronger than the incarcerating prison wall . Cinta itu lebih besar dan lebih kuat daripada tembok yang berusaha memenjarakannya."  

Mata Vina terasa panas. Ia teringat Nana, betapa Vina berusaha bersusah payah untuk menyembunyikan lukanya, menyembunyikan traumanya, tetap, Nana's love break through it, berusaha menjangkau membebaskan Vina dari kungkungan penjara batinnya. Menunggu sampai Vina siap. Bahunya bergerak dan ia mulai menangis, tetapi ia tidak menangisi nasibnya. Vina tidak menangisi kenapa ia harus menjalani ini. Air mata yang jatuh bukan air mata kekecewaan, melainkan air mata karena ia sadar bahwa selama ini ia begitu dikasihi. She's loved, precious, and treasured.

Sarah mengambil tissue dan menyeka air mata Vina. "You're a strong girl. And love will only makes you stronger."

"Aku enggak mungkin jadi begini tanpa Nana ... tanpa Cicik," Vina meremas tissuenya, mencoba tersenyum.

"Kita ada di sini buat bantu kamu, Vin. Selalu." Sarah menunggu isakan Vina mereda sebelum memulai percakapan kembali. Kali ini wajahnya berubah menjadi lebih serius. "Hal terakhir, ini yang paling berat."

Vina menangkap wajah Sarah yang seketika berubah menjadi lebih kelabu, ia melihat beberapa kali Sarah menelan ludah. "Kenapa, Cik?"

Sebelum menjawab, Sarah menggenggam tangan Vina erat-erat. "Ini mungkin akan menjadi hal tersulit yang Cici pernah minta dari kamu. Kamu mau sembuh dari traumamu?"

Vina mengangguk dengan cepat. "Iya Cik. Aku mau."

"Then ... you have to forgive him."

Love In Six Cities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang