Bab 28 : Xiamen - The Lotus

1.7K 303 10
                                    

Xiamen

Sarah menuangkan Pu Er cha ke tea cup kecil putih dengan corak keramik biru di hadapannya. Vina duduk bergelung seraya meremas-remas tissue di tangannya. Tissue yang tadi utuh kini berubah menjadi serpihan-serpihan putih kecil. Seperti salju. Tanpa sadar Vina melihat ke luar jendela. Awal Februari seperti sekarang di Cedar Falls saljunya masih ada. Pohon-pohon berbalut jubah putih. Namun di Xiamen? Dinginnya dapat sayangnya bukan pemandangan putih mempesona yang ia lihat, tetapi jejeran pohon gundul yang tampak kelabu.

Musim dingin di Xiamen ... tidak indah. Kelabu. Itu kata yang tepat. Semua berjaket dengan uap yang selalu membuat Benny harus mencopot kacamatanya dan membersihkan uapnya. Tapi tak ada winter wonderland. Pertama kalinya dalam empat tahun, Vina merasa benci dengan musim dingin.

Ia tak berani menatap Benny yang duduk tak jauh darinya. Kali ini pria itu mengenakan hoodie merah dengan tulisan nama almamaternya berwarna putih. Sepertinya Benny punya selusin hoodies dari almamaternya. Vina bisa mendengar sayup-sayup suara jemari Benny mengetuk meja, kebiasaan yang Benny lakukan tanpa sadar jika ia sedang kesal. Kesal? Ya pasti Benny kesal. Sejak kemarin ia mendarat, Vina menolak segala kontak fisik dengan Benny, bahkan gandengan pun Vina tak berani.

"So, we're going back to ground zero?" tanya Benny tanpa basa-basi.

"Sabar, Ben." Suara Sarah berusaha menenangkan Benny. "Minum dulu,"

Benny mengambil tehnya tetapi tidak meminumnya.

"Wajar dalam 6 bulan pertama, ada fase naik turun," Sarah berhenti sejenak dan melirik ke arah Vina. "Flashback is something scary, And it feels real,".

Perlahan Vina menarik napas lega. Sarah mengerti betul dirinya. Kata orang time travel itu khayalan, tapi tidak baginya. Setiap mengalami flashback, Vina seperti kembali ke saat itu. Cilakanya, ia tidak kembali ke saat yang menyenangkan. Ia justru kembali ke mimpi buruknya. Tanpa sadar badan Vina sedikit menggigil. Hari itu, ia bisa merasa napas berat pria jahanam itu di dadanya. Padahal sudah 5 tahun berlalu! Tanpa sadar tangannya bergetar lagi, napasnya memburu.

"Vina ... " Suara lembut Sarah menyentak dirinya.

"Ya?"

"Bisa cerita, apa yang baru saja Vina rasakan?"

"Yang hari itu?"

"Bukan, yang barusan."

Vina menelan ludahnya. Ketika pertama kali Sarah memintanya bercerita, ia panik. Ia takut ... dianggap gila. Namun, pelan-pelan Sarah membuat dirinya tenang dan percaya bahwa Sarah percaya akan ceritanya.

"Sakit... perutku kayak ditonjok, lalu ... " Vina meremas tissuenya lagi. Ia menunduk, " Badanku ... punggungku ... kayak disiram air es ..."

"Ada rasa panik?"

"Iya ... kayak ... pengen ... sembunyi." Vina terus menunduk. Ia menggeser-geser kakinya.

"You're doing great, Vin." Senyum Sarah. "Sekarang saya bicara dengan Benny dulu ya,"

Buru-buru Vina menghembuskan napas lega. "Okay. Aku di kamar aja ya." Tanpa menunggu jawaban Vina sudah berjalan cepat.

***

Benny menatap bayangan Vina yang menghilang. Perasaannya campur aduk. He hates to see her hiding in her shells again and treats him like a stranger. Vina tidak berani melakukan eye contact, menjawab sepotong-sepotong. Rasa iba menyelimutinya, ketika di hadapannya ia melihat tanpa alasan yang jelas tiba-tiba Vina seperti pindah ke alam lain, mukanya pucat, tangannya bergetar, bibirnya berkerut, seolah ia terperangkap di sana dan tak bisa kabur.

Love In Six Cities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang