Bab 23 : Xiamen - The War

1.8K 310 33
                                    

Sedari mereka keluar dari rumah, Benny menggenggam tangan Vina erat-erat. He tried to savor these last moments when he could feel her soft and warm hands. Benny memaki dalam hati  ketika perjalanan sore ini begitu lancar, tak ada kemacetan, bahkan beberapa kali mereka berhenti di lampu merah, dan lampu merahnya langsung berubah menjadi hijau. Apa-apaan ini? Seandainya hubungan mereka selancar jalanan sore itu.

Taksi mereka memasuki daerah Zhong San Lu. Kawasan perbelanjaan di Xiamen. Jejeran bangunan ruko berlantai tiga dengan gaya Eropa menyambut mereka. Toko-toko baju dan sepatu bermerk, toko buku, toko CD, restaurant berjajar rapi menyambut para pelanggan. Di hadapan sebuah restaurant berlantai tiga dengan tembok putih, taksi mereka berhenti. Di depan restaurant terpasang beberapa aquarium dengan ikan-ikan, kepiting hidup yang berenang-renang.

"Dao le, sudah sampai," gumam sopir taksi.

Benny membayar taksi dan membuka pintu keluar. Sambil berjalan, tangannya meraih tangan Vina. Gadis itu tidak menolak. Mereka naik ke atas, ke private room yang sudah dipesan Benny. Mei Hwa dan Ah Liong datang tak lama setelah mereka tiba. Makanan satu persatu mulai berdatangan.

"Ini enak." Benny memotong daging ikan kukus yang disiram dengan kecap asin serta menaruhnya dengan hati-hati di piring Vina. Suasana tiba-tiba hening. Di keluarganya mengambilkan makanan itu tugas perempuan, bukan laki-laki. Ia bisa menduga mamanya mungkin akan memandang Vina dengan sedikit mencela, karena semestinya Vina yang mengambilkan makanan untuk dirinya dan bukan sebaliknya.

Persetan dengan tradisi. Apa salahnya ia mengambilkan makanan untuk Vina? Apakah melayani hanya tugas perempuan? Beberapa hari ini ia berulang kali mempertanyakan beberapa 'value' yang dulu ia terima tanpa berpikir. Tugas wanita itu melayani. Hanya itukah? Ia melihat lukisan-lukisan Vina, cantik dan punya jiwa. Ia melihat mata Vina bersinar ketika mengajar anak-anak. Jika mereka kembali bersama, ia pasti akan meminta Vina tetap bekerja. Pandangan perempuan baik-baik, virginity dan banyak hal lain sedikit bergeser. Dunia lebih abu-abu dari yang ia kira. 

"Ben, enggak usah," bisik Vina. "Aku ambil sendiri saja."

Benny melihat cangkir teh Vina kosong, ia mengambil teko, seorang pelayan berseragam buru-buru mendekat untuk menuangkan teh, Benny hanya mengangkat tangannya dan berkata. "wo zi ji lai, saya saja." Pelayan itu mundur kembali.

"Teh, Pa Ma?" tanya Benny. Ah Liong meletakkan cangkir di atas kaca putar, Benny pun memutarnya, mengisi cangkir teh papanya dan memutarnya kembali ke depan Ah Liong.

Piring-piring di hadapan mereka mulai tandas. Yu xiang rou si daging babi dipotong-potong panjang lalu dimasak dengan saus sichuan. Chao dou miao cah sayur dou miao kesukaan papanya,  la zi ji daging ayam yang dimasak dengan bumbu mala sichuan yang pedas, serta makanan wajib mamanya, ba si di gua, sweet potato dipotong kotak-kotak digoreng kering lalu dilumuri madu dan taburan wijen

Benny melihat kedua orang tuanya. Ini waktunya. Mamanya sedang mengisi cangkir teh papanya. Pelayan yang tadi menunggu sedang sibuk mengangkat piring-piring kotor. Pelayan lain datang membawa tusuk gigi beraroma mint. Waktunya untuk bicara hal yang serius.

"Pa, Ma," Benny berdehem sejenak. Ia yakin Mamanya pasti kecewa. Sepanjang malam, Mei Hwa sudah memuji Vina. Ia melirik Vina yang duduk di sebelahnya. Entah apa ia bisa mencari wanita lain yang seperti Vina?

    Mata Ah Liong menatap ke arah Benny menanti Benny menyelesaikan kalimatnya. Benny baru akan membuka mulut ketika tiba-tiba ia merasa tangan Vina menarik tangannya di bawah meja. Jemari Vina yang halus meraba jemarinya.

"Makasih Acek, Ayik buat makanannya," ujar Vina.

"Ayik yang kamsia Vina mau nemenin jalan-jalan. Benny," Mei Hwa menatap anaknya lekat-lekat. "Kapan Papa Mama melamar Vina yang resmi? Jangan kelamaan. Nanti Papa Mama Vina pikir kamu enggak serius!"

Love In Six Cities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang