Bab 16 : Xiamen - The Trauma

2.2K 358 18
                                    

Catatan : Xiamen dibaca Siamen.

Agustus, 2004

Sarah menuangkan secangkir teh dengan wangi yang belum pernah Vina cium sebelumnya. Teh berwarna kekuningan dengan beberapa kuncup bunga kering mengapung di cangkir tehnya. Kepala Vina terasa lebih enteng setelah tidur nyenyak kemarin malam. Sarah menjemputnya di Hong Kong, lalu membantunya mengurus visa untuk masuk Xiamen. Semuanya terasa begitu cepat.

"Ju hua cha, Chrysanthemum Tea, Bagus buat yang sedang cape," ujar Sarah dengan bahasa Indonesia yang lumayan fasih. Rambutnya yang cokelat dipotong pendek sedagu, hidung dan bentuk wajah Sarah persis seperti Nana, yang berbeda adalah mata Sarah yang biru terang seperti ayahnya.

Vina meminum tehnya dengan perlahan, rasa hangat memenuhi tenggorokannya.

"Enak," puji Vina sambil tersenyum.

"Ini tidak pake gula, pakai red dates." Gantian Sarah menghirup tehnya. Matanya tiba-tiba tersenyum, Vina menoleh ke belakang dan melihat Kevin, suami Sarah.

"Berangkat dulu yo. nek butuh opo-opo, nanti wae tak belikno, (kalau butuh apa-apa, nanti saya belikan)," pamit pria paruh baya itu sambil mencium pipi Sarah. Vina ingat pertama kali ia bertemu Kevin di rumah Nana, ia kaget mendengar ada pria yang berbicara dengan logat Suroboyo yang medok bahkan setelah tinggal belasan tahun di Amerika.

Terdengar pintu depan dibuka dan ditutup. Sarah berjalan kembali dan duduk di hadapan Vina.

"Sekarang, kita bisa ngobrol." Senyumnya ramah. "Kita sudah nungguin kamu, akhirnya kamu datang juga."

"Maaf, aku kasih kabar dadakan."

"Bukan itu." Suara tawa Sarah benar-benar seperti suara tawa Nana. Sepintas Vina merasa seperti duduk dengan Nana. "Mama sudah bilang, Vina akan cari saya."

"Ha?" Vina menggelengkan kepalanya. Ia tidak menangkap maksud Sarah.

"Dua minggu sebelum Mama meninggal, Mama telpon saya. Mama minta saya janji, kalau nanti Vina datang, saya harus bantu."

Vina menatap nanar, ia berulang kali menelan ludah berusaha menahan air matanya.

"Maksud Sarah?"

"Mama bilang kamu punya luka yang kamu sembunyikan. Ada orang atau orang-orang yang pernah melukai kamu. Vina pasti pernah melewati sesuatu yang sangat mengerikan, lukanya dalam sekali." Sarah menirukan ucapan Nana.

"Nana tahu dari mana?"

Sarah tersenyum, ia memberikan tissue kepada Vina. "Mama sudah hidup cukup lama, terluka cukup dalam, menghapus banyak air mata. But she also lived long enough to witness hope and love heal even in the ugliest wounds."

Vina tak dapat menahan dirinya lagi. "Aku kangen Nana ... sangat ... ." Bahunya berguncang. Sarah merengkuhnya ke dalam pelukannya dan mengusap lembut rambut Vina. Vina merasa tenggelam. tetapi bukan tenggelam di dalam rasa nyeri yang biasa ia rasakan, sebaliknya tenggelam dalam perhatian dan cinta.

"Bahkan ... setelah .... Nana enggak ada pun ... Aku masih ngerasa Nana ... terus perhatian ... sama aku," tutur Vina tersendat-sendat.

Dua minggu sebelum meninggal, Nana menitipkannya kepada Sarah. Tiba-tiba Vina berhenti menangis, ia mengangkat wajahnya. "Why didn't you tell me?"

Senyum tipis merekah di wajah Sarah. "Itu juga pesan Mama. Kamu jangan hubungin Vina dulu. Kalau ia sudah siap, ia yang akan cari kamu,"

Kalau Vina sudah siap, Vina yang cari kamu.

Tangis Vina meledak. Selama ini ia pikir Nana tidak tahu, ia pikir ia menyembunyikan rahasianya dengan rapi. Ternyata cinta bisa melihat yang terluka, sekalipun ditutup dengan rapat. Selama ini ia takut jika orang tahu apa yang terjadi mereka akan menghempaskannya. Seperti Benny. Ketakutannya terjadi ketika hubungan mereka berakhir. tetapi Nana tahu. Tahu ia terluka ... bahkan ia menyiapkan tempat mendarat untuk hatinya.

Love In Six Cities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang