The Ending

7.1K 471 138
                                    

2016

"Ben ....bener kan? Kamu kalau ngomongin Bryan ngabisin duit, foya-foya, nada kamu kesal, tapi kalau ngomongin Bryan maen cewek ... nada kamu pahit," cecar Vina. "Itu ada hubungannya sama aku kan ... sama kita."

Benny terdiam. "Kadang aku mikir ... jangan-jangan semua masalah yang kita hadapi itu karena karma buruknya perbuatan Bryan," gumam Benny serak.

Ia menatap Vina lekat-lekat. "Bryan itu ... entah sudah berapa banyak cewek yang ia tidurin ... Did they do it willingly or?? And you know what ... Setelah melalui semua bareng kamu, Vin, aku enggak bisa terima ... enggak bisa terima kalau adik kandungku sendiri sama BANGSATnya sama that asshole!" Mata Benny berkilat-kilat marah.

"Aku enggak bisa terima, bahwa mungkin ada perempuan-perempuan yang Bryan rusakin hidupnya yang mungkin sering nangis malem-malam kayak kamu ... I don't know whether they can find their happiness after that? Whether they can find a man that will love them and cherish them despite their past?" Benny memejamkan matanya. "I can't accept it!"

"Ben .. ini bukan salah kamu ..." Vina mengusap lembut bahu suamnya.

"I hate that man that destroyed your life, and almost destroyed our lives ... But ... my own brother! Enggak jauh beda!!! Ironis banget," geram Benny. 

"Kamu nyalahin Bryan karena ... kau mau mencari alasan untuk hal-hal pahit yang kita hadapi, Ben. Kamu merasa you did all the right things tapi kenapa hidupmu, hidup kita begini."

"Mungkin." Benny menelan ludahnya.

"Tiap orang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, Ben. Atas dosanya sendiri."

"Kalau begitu apa dosamu, Vin? Apa salahmu sampai kamu harus ..." Benny tidak tega menyelesaikan kalimatnya.

Vina menyandarkan kepalanya di bahu Benny. "Itu dulu pertanyaanku bertahun-tahun. Apa salahku? Tapi lalu aku mikir, mungkin pertanyaanku yang salah. Aku mulai mikir, apa yang kira-kira aku lakukan kalau aku enggak pernah ngalamin itu semua? Aku enggak akan ke Cedar Falls for sure. Aku enggak akan kenal Nana. I wouldn't care about the homeless and the less privileged. Aku mungkin hanya akan jadi another spoilt brat. I won't be who I am today. Kita mungkin enggak akan saling kenal juga, Ben."

"Yakin? Kan kita tinggalnya enggak jauh," dengus Benny.

"Betul, tapi aku bukan gadis yang sama yang bikin kamu jatuh cinta. Bahkan walaupun kita akhirnya kenal dan menikah, do you think we will have such a deep relationship like we have today?"

Benny terdiam. "Mungkin tidak."

"Kamu tahu apa yang keluargaku dan teman-temanku bilang soal hubungan kita? Mereka bilang, we're such a loving couple. Yang mereka enggak tau adalah, our love has reached the lowest hell before it goes beyond the highest stars.,."

"The lowest hell yeah ... we've been there. More than once." Benny membelai rambut Vina, mengingat tahun-tahun berat yang mereka pernah hadapi bersama.

"Kita bukan enggak pernah berantem. Kamu bukannya enggak pernah marah-marah. Tapi sekalipun kita bertengkar, I never doubt your love, Ben. You love me more than anything else in this world and that you will never leave me. Kamu punya banyak kesempatan untuk pergi begitu saja--"

"But I always come back right?"  Benny meremas lembut bahu Vina.

"Iya, kamu selalu kembali,"

"Dan cuma kamu yang tahan dengan aku yang seperti ini," tawa Benny.

"Kalau ditanya, ini bukan jalan hidup yang aku pilih, Ben. Tapi apa aku menyesal ada di titik ini? enggak juga," Vina menengadahkan kepalanya dan mata mereka bertemu. "Kamu juga berubah banyak, Ben. Dulu kamu pertama kali ngejar aku cuman karena apa aku penuhin kriteria kamu.  Tapi ketika kamu tahu --"

Love In Six Cities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang