Bab 5 : Cedar Falls - The Beauty

3.4K 423 63
                                    

Malam turun dengan segala kegelapannya. Vina baru saja menyelesaikan makan malamnya, sendirian seperti biasa. Ia sedang sibuk mencuci piring ketika tiba-tiba bel pintunya berdering nyaring.  Vina menggerutu berkali-kali. Kenapa harinya seperti ini? Pagi ini setelah dari kuburan, ia pergi ke kampus dengan setengah hati, sepulang kuliah ia kembali ke rumah yang sunyi, duduk di sofa dan menangis sendiri.

Bunyi bel kembali memenuhi udara. Tergesa-gesa Vina mengeringkan tangannya.

"Coming." Vina menghela napas panjang. Serasa deja vu dengan kejadian pagi ini. Vina membanting serbetnya. Telinganya kembali menangkap suara bel panjang yang ditekan. Ia menghentakkan kakinya berjalan ke arah pintu. Kenapa sekarang semua orang tidak sabar?

"Yes?" Vina membuka pintunya, sekejap aroma cokelat hangat menyeruak.

"Ms Lee-men?" Seorang pemuda memegang dua cup berdiri di hadapannya. "Delivery for you."

Vina mengambil satu cup. Pemuda itu segera meraih kertas dari kantong jaket tebalnya. napasnya beruap ketika ia bicara. Tanpa banyak cakap Vina menandatangani kertas itu dan membawa kedua cup itu masuk. Ia tidak bertanya dari siapa. Ia tebak ponselnya akan berbunyi sebentar lagi. Tepat lima menit sesudah Vina menutup pintu, ramalannya terbukti.

Telepon berwarna putih tulang yang duduk manis di dekat meja tamu, berdering merdu.

"Why Ben?" sergah Vina tanpa basa basi begitu ia mengangkat teleponnya.

"Whoa ... enggak ada kata halo nih?" goda Benny sambil terkekeh.

"Why? Kamu mau minta proyek?" geram Vina cepat. "Ini kamu ngapain baik-baikin aku? Mau dapat tender atau apa? Kalau iya kamu salah. Aku enggak ikut-ikutan bisnisnya Papa. Semua dipegang Papa sama Ko Dennis."

Benny tertawa mengejek. "Kamu pikir aku butuh tender? I have a good job here, with stock options. Why should I look for some 2M tender in Jakarta? Receh!"

"Ya kali ... kalau enggak ngapain kamu begini?" tuntut Vina.

"Isn't that obvious? You're very attractive."

Vina membeku. Perempuan lain mungkin berbunga-bunga tetapi tidak dirinya.

"Kamu bilang, kamu biasanya suka ngobrol dengan Nana sambil minum cokelat hangat dengan whipped cream," ujar Benny santai.

Mata Vina menatap ke meja dapur. Sebuah cangkir kosong berdiri di sana. Cangkir yang rencananya akan terisi cokelat hangat.

"So?" Vina berusaha membuat suaranya sedingin mungkin.

"I guess you need a cup of hot cocoa to warm your heart tonight. Hari ini ... tepat setahun kan?"

Vina membisu. Ia tidak menyangka Benny ingat. Rasanya tak ada seorangpun yang peduli selain dirinya. Ia ingin bercerita tapi tidak tahu harus bicara dengan siapa? Terkadang ia ingin terus menerus bercerita tentang Nana, untuk memastikan ia tidak lupa Nana seperti apa. Namun, Roland sudah menunjukkan tanda-tanda bosan jika ia bercerita tentang Nana. Mungkin itu sebabnya, kapan hari di Haneda ia bercerita panjang lebar tentang Nana kepada Benny. She just wanted to share how wonderful Nana was and how she missed her like crazy.

"You know, just to keep the tradition and memories alive. I bet it's freezing cold in there right now," terka Benny.

Gosh ... mungkin Nana terlalu asyik bermain dengan malaikat hingga lupa menyampaikan doanya kepada Tuhan pagi tadi.

"Vin? Alo?"

"Ya ..." Vina duduk di sofa. Ia menarik kabel telepon dan memeluk bantal.

"Do you want me to accompany you tonight?" rayu Benny.

Love In Six Cities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang