Bab 6 : Cedar Falls - The Guardian

2.8K 385 32
                                    

Benny berdiri di depan pintu rumah Vina. Sayup-sayup ia mendengar suara Eric Clapton dengan petikan gitarnya melantunkan Tears in Heaven dari dalam rumah. Beberapa kali ia menekan bel pintu, tetapi pintu tak kunjung terbuka. Pemuda itu mencoba untuk bersabar, tetapi sudah hampir 5 menit dan betulm ada tanda-tanda pintu akan dibukakan. Bel pintu kembali ia bunyikan. Akhirnya, suara derit pintu terdengar. Wajah mungil Vina muncul dari balik pintu.

"Ya?" Vina hanya membuka pintunya sedikit.

"Vegetarian tacos with extra sour cream and guacamole, buat makan malam. Siang tadi kamu tidak makan apa-apa." Benny menyebutkan menu makanan kesukaan gadis itu. Mata Benny berkilat kesenangan ketika melihat wajah mungil di depannya tampak terkejut. Kening Vina berkerut seolah berusaha menerka darimana Benny tahu.

    "Kamu kaget aku bisa tahu menu kesukaanmu?" senyum Benny. "Buat kamu apa yang enggak, Vin?" Kedua pipi Vina merona. Ia tetap diam di tempatnya. Tidak mengusir Benny, tidak juga mempersilahkan Benny masuk.

    "Aku boleh masuk?" tanya Benny membuyarkan lamunan Vina.

    Vina membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan Benny masuk. Benny berjalan masuk sambil tersenyum puas. Info dari Agatha tokcer. Vina orangnya tepat waktu, dia punya jadwal yang sangat teratur dengan kebiasaan yang selalu sama. Setiap minggu sebelum mengajar kelas di rumah sakit, dia pasti membawa makanan dari Pablo's Mexican Grill. 

    Langkah selanjutnya, Benny pergi ke Pablo's Mexican Grill dan menunjukkan foto Vina. Si pelayan dengan cepat mengenali Vina dan mengatakan Vina selalu memesan makanan yang sama setiap minggu. Hidup di kota kecil, tak susah untuk mencari keterangan. Benny bangga dengan dirinya yang lagi-lagi berhasil mengorek sisi lain dari Vina. Baginya, Vina seperti teka-teki cantik yang menggairahkan untuk dipecahkan.

Benny melihat ke sekeliling rumah. Rumah Vina tertata rapi seperti rumah di dalam majalah. Terlalu rapi, tanpa ada kehidupan.

    "Roland?" tanya Benny kepada Vina.

    "Di rumah pacarnya di Waterloo," jawab Vina sambil menata Tacos di atas piring.

    "Sering di situ?"

    "Lebih banyak di situ daripada di sini,"  jawab Vina datar sambil meletakkan dua piring berisi Tacos di atas meja makan.

"Aku beli dua tacos. We can share," jelas Benny seraya menarik kursi makan dan duduk. "Kuliah Roland gimana?"

"Kamu perhatian banget sama Roland?" sindir Vina. Ia mulai menggigit Tacosnya. Benny menatap bibir Vina yang dengan perlahan mengunyah tacosnya. Sungguh mati, ia takkan bosan melihat gerak gerik Vina yang tertata dan kelihatan manis. Benny melihat ke arah tacosnya dan menjawab sindiran Vina.

"I like him. Coba kalo adikku kayak Roland."

"Kamu punya adik?"

"Satu, cowok. Adik enggak guna."

"Kok gitu sih sama adik sendiri?" Suara Vina terdengar sedikit kesal.

Benny hanya tertawa. "Yah kenyataannya begitu. Kenapa harus ditutupi hanya karena dia saudara sendiri?"

"Roland juga kadang nyebelin!"

    "Bryan bukan cuman nyebelin, Dari kecil enggak pernah susah, enggak mau susah," keluh Benny.

Vina mengangkat alisnya, tidak mengerti.

"Kamu tahu apa yang membedakan orang yang sukses sama ga? Dulu orang pikir IQ. ternyata ga. Lalu EQ, emotion quotation, ternyata enggak juga. Menurutku, orang-orang yang sukses kesamaannya satu, mereka kayak Roland, selalu pengen tahu, penasaran, mau coba, antusias."

Love In Six Cities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang