Bab 31 : Jakarta - The Sleepover

1.6K 325 20
                                    

Vina baru undur diri menjelang jam 12. Ah Liong dan Mei Hwa masih asyik menonton TV sedangkan matanya sudah berat.

"Dah ngantuk?" tanya Benny. Vina mengangguk. Ia menggamit Vina mengajaknya naik ke lantai dua. Deretan kamar berjejer rapi di sana.

"Kamu mandi di kamarku aja. Kamar mandi luar enggak ada water heaternya." Benny membuka pintu kamar tamu, lalu mengambil handuk dan peralatan mandi lengkap dengan sikat gigi yang sudah ditata rapi di atas ranjang. Vina mengenali logo salah satu jaringan hotel internasional tertempel di botol sabun, shampoo yang dibawa Benny.

Benny berjalan memasuki kamar yang terletak di seberang kamar tamu. Kamar Benny luas, satu ranjang king dengan bed cover biru donker, walk-in closet, meja kerja, beberapa lemari buku. Di dinding penuh dengan foto Benny mengenakan medali dan beberapa ijazah/ awards yang dibingkai rapi. Ia melirik Benny yang sedang menyalakan heater kamar mandi.

"Aku enggak bawa baju tidur," gumam Vina pelan.

"Pakai kaosku aja." Benny membuka lemarinya mengambil sehelai kaos, celana pendek dan menyerahkannya kepada Vina. Muka Vina memerah, Oh great, pikirnya dalam hari sekarang ia kelihatan seperti mahasiswi tingkat dua yang sengaja bermalam di rumah pacarnya tanpa membawa baju.

Kamu juga nginap di apartemennya Benny di Beijing. Kalimat Mamanya terngiang. Betul, tapi mereka di kamar terpisah, dengan kamar mandi yang terpisah dan ia datang dengan perlengkapan lengkap. Dari pakaian hingga pepper spray. Bukan tanpa persiapan seperti saat ini. Sekilas ia melihat dirinya di cermin, sesuatu berkilauan di jari tangan kirinya. Their engagement rings. Keluarga Benny meminta ada acara tukar cincin. Jadi kini di tangan kiri dan tangan kanannya masing-masing ada satu cincin berlian. Satu cincin lamaran, satu lagi cincin kawin dengan model yang sama dengan Benny.

Biasakan dirimu, Vin. Ia menghela napas, mengambil kaos yang diberikan Benny seraya bergumam. "Thanks." Lalu berjalan ke kamar mandi. Ia baru menghembuskan napas lega setelah ia sendirian di kamar mandi.

Rasanya janggal. Betapa berbedanya keluarga Benny dengan keluarganya. She felt lost in translation ketika mendengar orang tua Benny bercakap-cakap dalam bahasa Hokkian dicampur dengan bahasa Indonesia. Hatinya juga sedikit iba dengan Bryan. Gaya Bryan memang urakan tapi matanya, itu mata yang kesepian. Vina teringat keluarganya. Papanya galak, tetapi suasana makan malam di rumahnya jauh lebih hangat daripada di rumah ini. Sekalipun terkadang Papanya memarahi Roland, tetapi mereka masih bisa saling bercanda, nonton NBA bersama sambil berteriak-teriak. Jika ia menikah dengan Benny, ini akan jadi keluarganya juga. Rumah ini ... rumahnya juga.

Ketika ia keluar dari kamar mandi, Benny sedang sibuk dengan laptopnya. Diam-diam ia menghembuskan napas lega. Ada untungnya punya tunangan gila kerja. Ia bisa canggung jika Benny hanya duduk bengong di atas ranjang.

"Heaternya mau dimatiin Ben?" tanya Vina berusaha membuat suaranya senormal mungkin.

"Ga usah. Aku matiin nanti habis mandi," Benny tidak menoleh ke arahnya, jarinya sibuk mengetik. Vina bersiap meninggalkan kamar ketika Benny tiba-tiba berbalik. "Yah dah kelar."

"Ooh. Aku ... balik ke kamar dulu ya." Vina buru-buru hendak beranjak.

"Are you okay? Kamu diam banget tadi pas makan malam," tanya Benny. Ditatap seperti itu hampir selalu membuat pipinya bersemu, Vina nyaris mengatakan tidak ada apa-apa ketika sosok Sarah muncul di benaknya.

Komunikasi Vina. Komunikasi. Benny enggak bisa baca pikiranmu.

"Ngobrol di luar aja?" tawar Vina. Ia tidak berani ngobrol di kamar Benny. Benny mengangguk, ia keluar lalu berjalan ke arah balkon yang terletak di ujung koridor. Sayup-sayup Vina masih bisa mendengar suara TV.

Love In Six Cities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang