Part I - 不知彼不知己,每战必殆 - Sun Zi Art of War

8.4K 648 32
                                    

不知彼不知己,每战必殆 : If you don't know yourself and your enemy, you will lose every battle.

Bab 1 – Haneda : The Airport

Januari  2004 

ANA Suite Lounge

Jika berjodoh jarak ribuan mil akan bisa bertemu. Jika tidak berjodoh berseberangan pun tidak akan berjumpa. Yuan fen. Fate. Jodoh. 

Pria itu berdiri tegap di depan lounge, dia tak menghiraukan petugas yang memeriksa boarding pass-nya sebagai persyaratan masuk. Dengan tak sabar pria itu mengetukkan jemarinya mengikuti irama. Ketukan yang berhenti ketika melihat sosok yang berdiri di dalam lounge

I got you. 

Jarak ribuan mil sudah dia tempuh, saatnya dia berjalan masuk. 

***   

Bandara, tempat yang memberi Vina harapan untuk lari, untuk memulai hidup baru, tapi bandara juga yang membuat hidupnya jungkir balik. 

Mata Vina menatap matahari yang perlahan terbit dibalik dinding kaca di hadapannya. Beberapa pesawat sudah berbaris rapi di landasan menunggu giliran untuk lepas landas. Belasan jam lagi ia akan tiba di tempat yang dianggapnya rumah selama empat tahun terakhir. Hanya saja, tahun ini semuanya akan berbeda. Sosok itu tidak lagi ada di sana. Vina menggigit bibirnya menahan supaya air mata tidak jatuh. Ia begitu asyik dengan pikirannya hingga tidak menyadari ada sosok tinggi berdiri di dekatnya.

    "Hi, Vin." Suara berat seorang pria menyapa dirinya. Vina menengadah dan terkejut. "Ketemu lagi di sini. Masih ingat saya?" Senyuman pria itu lebar.   

    "Hi," sapa Vina pelan. Ia menundukkan kepalanya. Vina sama sekali tidak menyangka akan bisa bertemu pria itu lagi. Kenapa pria itu seolah muncul di mana-mana?

    "Just in case you forget, I'm  Benny." Pria itu menyodorkan tangannya. "Benny Lau."

Dengan senyum kecut, Vina menyambut uluran tangan pria itu. Tentu saja ia ingat pria itu. Sulit untuk melupakan mata elang di bawah sepasang alis tebal. Sesaat, telapak tangan Vina yang mungil tenggelam di dalam hangatnya genggaman tangan Benny.

Benny duduk di kursi hitam, dengan sandaran tinggi berbentuk sebelah lingkaran, tepat di sebelah Vina. Tanpa suara keduanya menatap pesawat Japan Airlines yang mendarat dengan anggun di hadapan mereka. Benny menaruh tas ransel biru tua—dengan logo sebuah search engine company berwarna-warni—di atas meja kaca hitam.

    "Jakarta-Haneda naik kelas bisnis juga?" Benny membuka percakapan.

    "Tiket saya sebenarnya ekonomi, tapi katanya overbooked. Jadi, di-upgrade ke kelas bisnis," jawab Vina.

    "Anaknya Pak Limanjaya naik pesawat Ekonomi?" Benny mengangkat alisnya seolah tak percaya.

"Kata Papa, cuman boleh naik kelas bisnis kalau urusan pekerjaan." Vina tersenyum tipis sambil menyibakkan sedikit poninya yang turun menutupi matanya. Vina lalu menunduk, kedua tangannya kembali sibuk dengan dua stik kayu panjang dan gulungan benang abu-abu tua.

    "Hand towel, Sir?" Terdengar suara empuk seorang gadis berseragam merah terang dengan rambut digelung rapi. Ia membungkuk menawarkan handuk basah yang terlipat rapi. Benny mengambil handuk basah yang disediakan dan memesan minuman.

    "Kamu sudah sarapan?" Benny menunjuk ke arah seberang ruangan. Di belakang mereka tampak hamparan buffet dengan aneka makanan, tetapi Benny menunjuk ke arah ruangan lain yang terletak agak jauh dari mereka.

Love In Six Cities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang