Bab 7 : Cedar Falls - The Downtown

2.3K 344 54
                                    

Hasil test darah sudah keluar, anemia. Safe flight.

Ia baru hendak membalas ketika pesan yang lainnya muncul.

Makasih sudah nemenin. Trims buat bunganya.

Senyum merekah di bibirnya sambil jemari Benny sibuk mengetik, You're welcome. I'll call you soon.

Hanya dalam hitungan detik, pesan berikutnya masuk.

Okay, take care.

Kali ini senyumnya benar-benar lebar. Benny mematikan ponselnya dan melihat ke luar jendela. Thanks, Agatha. Benaknya memutar ulang pembicaraan dirinya dan Agatha di Café seberang rumah sakit kemarin.

Kala itu, Agatha tertawa terbahak-bahak hingga air matanya keluar. "Kau pikir Nana, itu perempuan tua renta ringkih? Kau salah besar!"

Agatha mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan sebuah foto. Dua orang perempuan berdiri berangkulan di depan pohon Natal besar. Agatha di sisi kiri mengenakan gaun berwarna merah maroon, sedangkan perempuan di sebelahnya mengenakan dress hitam dengan bros berwarna merah. Perempuan itu berambut hitam pekat, alisnya yang tebal memayungi matanya yang sipit, hidung mancung seperti khas orang Eropa, leher jenjang dan senyum lebar. Keduanya berdiri sejajar sama tinggi. Benny menaksir tinggi Agatha sekitar 170 cm.

"Cantik kan? Kalau Audrey Hepburn itu keturunan Asia, wajahnya mungkin seperti Stella- Maksudku Nana. Aku memanggilnya dengan nama aslinya, Stella. Stella half-Dutch, half Chinese. Half Dutch Dari Mamanya kalau tidak salah." Benny mengangguk tanda setuju. Hilang sudah bayangan Nana sebagai nenek-nenek tua bungkuk dengan wajah keriput. Perempuan di dalam foto itu kelihatan modis. Ada kerut-kerut usia di wajahnya, namun Nana aging gracefully. Sorot matanya tegas dengan senyum keibuan.

"Stella dan Geoff menikah beberapa bulan setelah Supreme Court menyatakan pelarangan terhadap pernikahan antar ras, melanggar hak asasi manusia."

"1967?" tanya Benny memastikan. (1)

"Sejarahmu bagus," puji Agatha.

"Pertama kali mereka pindah ke Cedar Falls tak sedikit orang-orang yang tidak suka dengan Stella. Oh boy, she's a tough cookie. She won them all with kindness. One pie at the time." Mata Agatha menerawang. "Stella baked the best lemon meringue pie. Masakannya Vina juga sama enaknya.

Benny menyimak cerita Agatha dengan seksama.

"Namun, dibalik tawanya, Stella perempuan yang keras. Kalau ia ingin sesuatu, pasti dapat. Kami sering bertengkar." Senyum merekah di mulut Agatha. "Waktu itu aku kabur dari rumah, dari almarhum suamiku yang pemabuk dan suka memukul. Stella membantuku mendapatkan pekerjaan sebagai janitor di Universitas. Sepertinya kami berdua diikat tali yang sama, merasa beratnya sebagai minority. Lalu ia memaksaku, ya memaksaku untuk mengambil kelas malam belajar menjadi suster. Aku awalnya menolak. Mana bisa. Aku tak pintar." suara Agatha bergetar. Ia membuka tas tangannya dan mengeluarkan sapu tangan renda berwarna salem.

"Tapi Stella bersikeras. 'Agatha, kamu bisa ... harus bisa!' Dia mengirimiku formulir pendaftaran, membelikan buku-buku untuk tes, menemaniku belajar untuk tes, mengantarku." Agatha menghapus air matanya lalu ia tersenyum. "She's the one that trust you even when you don't trust yourself."

Benny berdecak kagum. Rasa hormatnya membuncah kepada Nana yang tak pernah ia temui. "She's such a wonderful lady."

    "Benny," tegas Agatha, nada suaranya berubah menjadi serius. "Be patient with Vina."

***

Fairview Cemetery

Agatha berdiri di depan makam. Ada sebuket bunga mawar yang sudah layu. Sepertinya dari Vina, terka Agatha.

Love In Six Cities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang