Bab 47 : Jakarta - The Saviour

1.8K 310 27
                                    


Jakarta, Juli 2015

Vina menatap kamar tidurnya. It feels so good to be back home. Benaknya masih berusaha memproses semua kejadian yang terjadi selama 2 bulan terakhir. Nikolai ditangkap dan ditahan atas tuduhan pembunuhan terhadap Sharon dan mamanya. Ia merasa bersalah karena sejak ia pergi ia tidak pernah sekalipun membalas pesan Sharon. Sekarang, Sharon sudah tiada.

Beberapa minggu terakhir, sangat sibuk karena anak-anak kembali masuk sekolah di Jakarta, sedangkan Benny beberapa kali bolak-balik Singapura untuk menjawab panggilan polisi. Benny memberikan kesaksian mengenai Sharon dan Nikolai. Untungnya alibi Benny kuat, ketika pembunuhan terjadi Benny sedang berada di Xiamen, cap passport, imigrasi dan visa memberikan bukti nyata yang tidak bisa dibantah.  

Belum sempat Vina larut dalam pikirannya, kepala Benny menyembul dari pintu. "Vin, she's here." Vina segera bangkit dari ranjangnya dan mengikuti Benny menuruni tangga.

Di ruang tamu mereka duduk seorang ibu paruh baya. Ketika ibu itu mengangkat wajahnya Vina terkejut. Setengah dari wajah ibu itu penuh luka bakar.

"Ini Mbok Minah, dulu pembantunya Nikolai." Benny memperkenalkan wanita paruh baya dengan baju berwarna pudar. Sebagian besar rambut wanita itu sudah memutih. Wajahnya kuyu dengan garis-garis kerut tua di sekitar mata.

Vina menatap wanita itu sambil tersenyum. Ia sama sekali tidak ingat akan wanita itu.

"Nonik pasti sudah enggak inget sama Mbok." Wanita itu memilin ujung bajunya dengan gelisah.

"Mbok Minah, inget Nonik Vina?" tanya Benny.

Mbok Minah mengangguk. "Wajahnya sudah agak beda. Dulu masih SMA."

"Mbok Minah masih inget kejadiannya?" Benny bertanya lagi dengan suara lembut.

"Masih ..." angguk Mbok Minah gemetar. "Hari itu ... Tuan sama Nyonyah lagi enggak di Jakarta. Pagi-pagi sewaktu Mbok nyapu ... Mbok denger Sinyo telpon temen-temennya. Kasih tau acara belajar kelompoknya batal. Tapi jam 10, kok ada Nonik datang. Mbok yang bukain pintunya."

Vina terdiam. Sekujur tubuhnya terasa kaku. Ia merasa tangan Benny langsung merangkul bahunya.

"Lalu?" pancing Benny.

"Sewaktu Nonik masuk, Nonik tanya sama Sinyo, yang lain sudah datang belum? Sinyo bilang lagi jalan. Semuanya datang kok. Waktu dengar itu Mbok langsung panik."

"Kenapa Mbok panik?" tanya Benny.

Mbok Minah makin tampak gelisah. Matanya berkedip-kedip dengan cepat. Kisah tragis mengalir dari mulut mbok Minah. 

***

Jakarta 1995 

Minah menahan tangis. Putri semata wayangnya Sri tergugu di hadapannya. "Maafin Sri, Mak. Maafin, Sri." Wajah Sri yang cantik penuh dengan air mata. Tangan Sri sibuk mengusap perutnya yang sedikit membuncit.

"Sudah berapa lama, Nduk?" tanya Mbok Minah terbata-bata.

"Sri ... ndak berani nolak Sinyo, Mak ..." tangan Sri mengusap perutnya lagi.

Minah membawa Sri ke dalam pelukannya. Sinyo? Tadinya Minah pikir yang bermasalah hanya Tuan besar. Minah tahu ada sebabnya mengapa Nyonyah selalu mencari pembantu-pembantu yang sudah tua renta, punya bekas luka, jalannya pincang atau punya bau badan yang menyengat. Itulah sebabnya, ia hanya mengizinkan Sri berkunjung ke rumah jika Tuan besar berpergian keluar negeri. Siapa menyangka Sinyo yang baru kelas 1 SMA sudah ah ... Minah memaki dalam hati. Bagaimana mungkin ia bisa abai.

Love In Six Cities (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang