1 ✓

4.1K 291 9
                                    

VOTE NYA DULU KAWAND
Selamat membaca ᕙ( • ‿ • )ᕗ


Langit sore yang cerah ini seperti menertawaiku. Jalanan pun juga begitu, tak ada satupun kendaraan yang berlalu lalang. Sial sekali, sepeda yang dua tahun menemani tanpa kendala tiba-tiba saja kempes ban belakangnya. Mau tak mau aku harus mendorongnya sampai ke rumah.


Terpikirkan aku sebuah cerita dongeng tentang seorang pangeran yang menghampiri gadis malang dengan kudanya. Andai saja ada seorang pangeran yang menghampiriku bukan dengan kudanya, melainkan dengan sebuah pompa di tangannya. Atau memberi tumpangan pulang dengan boncengannya, pasti aku akan meyakini cerita dongeng itu cerita nyata.

Tapi sayang, pemikiran itu terlalu fiksi untuk menjadi kenyataan. Setidaknya aku berharap ada satu bengkel saja yang berada di depan sana.

-RAYN-

Rambut panjang itu terkibas beberapa kali oleh tiupan angin senja. Tertampar udara hangat yang menyapa satu persatu bulu kuduk di permukaan kulitnya.

Gadis itu menghentikan langkah sejenak. Ia mengarahkan pandangannya lurus ke barat tepat pada arah matahari tenggelam. Di tengah jembatan itu berdiri dia sendirian, memejamkan mata dan merasakan sapaan alam yang mengalir melalui hidungnya.

Udara. Dia bisa merasakan betapa segarnya oksigen yang bisa dia hirup dengan gratis. Meskipun ada beberapa bau yang simpang siur menyapa indra penciumannya sebagai bonus.

Perlahan kedua matanya terbuka, dan sekilas senyuman kecil tertoreh di wajahnya.

Tuhan begitu baik menciptakan pemandangan di dunia, sedangkan manusia begitu baik dalam merusaknya.

Gadis itu kembali melanjutkan jalannya karena hari semakin gelap.

Dia adalah Vi Arrasya, seorang mahasiswi berusia 20 tahun jurusan seni lukis di Universitas Art Erlangga. Ini adalah tahun keduanya menjadi bagian dari mahasiswa di sana.

Hobinya melukis sejak sekolah menengah membuat dia bercita-cita menjadi seorang pelukis yang memiliki galeri seni sendiri.

Awalnya dia memiliki banyak keberuntungan, termasuk memenangkan setiap kejuaraan seni lukis yang diadakan waktu SMA.
Namun, sekarang potensi itu menurun seiring berjalannya waktu.

Lama-lama dia menjadi bosan, banyak sekali pikiran tentang seseorang yang terus mengganggunya hingga dia kehilangan konsen.

•••

"Ibu, aku pulang."

Gadis itu terengah-engah usai melewati jalan yang begitu panjang dan melelahkan. Setelah membuka pintu rumah, ia terduduk di lantai bawah sembari melepaskan sepasang sepatu yang terasa lembab di dalam.

Pengalaman baru baginya, sepeda itu memang agak butut karena bekas. Paman memberikannya karena terlalu sayang jika sepeda itu dipajang di dinding gudang layaknya sebuah frame foto lama.

Dua tahun lalu Vi gembira sekali bisa mendapatkan sepeda gratis. Dan selama itu, baru satu kali ini bannya kempes walaupun rantainya sering putus di jalan.

Ia ingin mendapatkan sepeda baru yang bisa membawanya pergi ke kampus tanpa kendala dan tentunya duduk dengan nyaman di atasnya.

Sayang kemauan gadis itu terhalang oleh ibunya. Sang ibu cukup pelit dalam hal keuangan. Ditambah kejadian terakhir kali dimana Vi menghabiskan banyak uang untuk membeli peralatan seni yang sebenarnya masih ada di dalam lemari. Wanita paruh baya itu murka dibuatnya.

RAYN [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang