28. Muak

736 67 0
                                    

"Resiko dalam mencintaimu adalah sakit hati."


"Kami masuk ya om," celetuk Laura membuat pak Fasya sedikit menyingkirkan badannya.

"Silakan, silakan." Pak Fasya menyilakan keduanya masuk kemudian mendekati Bu Ratna yang saat itu masih duduk di kursi kiri ranjang.

"Bu... kita keluar aja, biar mereka bisa ngobrol," bisiknya kepada istrinya.

Bu Ratna tersenyum tipis. "Kalau begitu kalian bisa ngobrol-ngobrol dulu... om sama tante mau keluar bentar."

"Iya tante," ucap Laura.

Dengan datar Vi menatap keduanya setelah ayah dan ibu keluar ruangan. Netranya terus memperhatikan lengan Rayn yang dipeluk oleh Laura.

"Gimana keadaan kamu sekarang?" tanya Laura.

Vi tersenyum kecil. "Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik aja."

"Syukurlah, karena aku ingin mengabarkan berita baik untukmu..." spontan menutup mulut, "oopss... maksudnya berita buruk untukmu." Mengangkat sudut kanan bibirnya.

Vi mengernyitkan dahi kemudian menatap sekilas ke arah Rayn yang berdiri di samping Laura. Mata mereka bertabrakan dengan rasa canggung bercampur bingung.

"Apa maksud kamu?" Celetuk Rayn membuat kedua gadis itu kompak menatapnya.

"Sayang..." ucap Laura.

Vi bergeming. "Apa? Sayang? Kenapa Laura memanggil Rayn dengan sebutan sayang?" Batinnya.

"Kan kita kesini mau ngasih tau Vi kalo kita udah resmi pacaran..." beralih pandang menatap Vi, "dan berarti kamu nggak ada hak buat deket lagi sama pacarku," sambung Laura.

Vi tertegun. Dulu Rayn mengelak jika Laura bukanlah mantan pacarnya, tapi ternyata selama ini dugaan Vi benar adanya. Laura adalah mantan pacar Rayn. Kenapa Rayn harus berbohong? Dan kenapa sekarang mereka balikan sedangkan Rayn pernah bercerita soal pacaran tanpa rasa.

Hal ini terasa menyakitkan bagi Vi walaupun mereka tidak memiliki ikatan hubungan sebelumnya. Dengan sikap Rayn yang tidak berupaya melepaskan genggaman gadis itu, bisa dibilang Rayn sependapat untuk mengusir Vi dari kehidupannya. Membuat gadis 20 tahun itu menjauh dengan halus sejak pertemuan terakhir beberapa hari lalu. Pantas saja pesan darinya tidak pernah dibaca.

Vi memutarkan bola matanya malas. "Tenang aja, aku nggak serendah itu untuk rebut pacar orang."

Rayn memandang Vi dengan raut penyesalan. "Aku duluan." Sembari melepaskan genggaman tangan Laura kemudian berjalan keluar ruangan.

Laura tersenyum lebar. "Baguslah kalau kamu sadar diri. Kayaknya pacarku udah bosen disini jadi kami pergi dulu," ucapnya sembari menyusul Rayn.

Di ruangan sepetak ini, tak terasa cairan bening perlahan menetes di atas pipi. Gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dia merasa bodoh telah menganggap Rayn menaruh perasaan padanya.

Hatinya tercabik kala semua harapannya pupus sebelum dimulai. Dan dengan percaya diri dia terus mengirim pesan kepada Rayn berharap lelaki itu tidak akan meninggalkannya. Semua itu membuat dia menjadi satu-satunya yang berharap di hubungan ini.

Di parkiran.

"Rayn! tunggu!" Laura berusaha menarik lengan Rayn untuk menghentikan langkahnya.

Lelaki jangkung itu menghentikan langkah setelah tangan Laura menggapainya. "Kamu kenapa?" tanya gadis itu.

Rayn berbalik. "Apa maksud kamu bicara kayak tadi?" tanyanya dengan sedikit emosi.

RAYN [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang