20. Sketsa

729 71 3
                                    


Kami pindah ke ruang praktek seperti yang diperintahkan pak Bambang. Antar meja dibuat berjarak agar mahasiswa mendapatkan kelonggaran dalam membuat karya. Dan tentunya bisa dengan leluasa menaruh berbagai alat dan cat yang dibutuhkan.

 Dan tentunya bisa dengan leluasa menaruh berbagai alat dan cat yang dibutuhkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Kira-kira begini gambaran tempat duduknya)


Aku dan Rayn berada di meja yang berdekatan. Jadi dengan mudah aku bisa melihat dan meminta bantuannya nanti.

Tadi pagi kami naik sepeda sendiri-sendiri karena barang bawaan yang bisa dibilang cukup banyak. Semua alat lukis aku bawa kecuali papan. Karena kampus hanya menyediakan papan dan beberapa cat saja.

Tak lama setelah kami berbenah di ruangan baru, Bu Amelia masuk dengan membawa sebuah buku di tangannya.

Bu Amelia adalah dosen pembimbing selain pak Bambang. Beliau lebih ke prakteknya sedangkan pak Bambang lebih ke materi awal.

"Selamat pagi semua," sapanya dengan senyuman ramah.

"Selamat pagi bu," sahut kami bersamaan.

"Seperti informasi yang kalian ketahui, mulai hari ini sampai dua minggu ke depan kita akan mulai praktek di ruangan ini. Bagaimana rasanya kembali ke ruangan praktek setelah satu semester lamanya?" Tanya beliau.

"Sangat mengagumkan."

"Kangen banget bu."

"Akhirnya kembali."

Ucap para mahasiswa kelas seni lukis A bersahutan.

Jujur, berada di ruangan praktek lebih nyaman dibandingkan berada di kelas. Kami bisa dengan leluasa mengobrol dan melukis ditambah ruangan yang cukup terang karena memiliki jendela kaca yang besar. Ketika kita melihat keluar maka pemandangan hijau akan langsung menyapa netra. Beberapa pohon dengan rindang tumbuh di sana.

"Kalau begitu, ibu berikan waktu satu hari ini untuk mulai mencari ide. Manfaatkan sebaik mungkin dan selamat bekerja!" Kata Bu Amalia. Setelahnya beliau keluar dari ruangan dan membiarkan kami mulai bekerja.

Ketika aku melihat Rayn, rasanya candu sekali. Rayn memakai celemek seni berwarna hitam yang merupakan seragam kami. Tapi saat dia yang memakainya, terkesan berbeda. Begitu elegan dan tampan.

Dia sangat fokus dalam hal berkarya. Bisa diketahui dari pandangan matanya yang fokus pada sebuah buku sketsa.

Aku tebak dia sudah membuat 3 sketsa sekarang.

Sepersekian detik kemudian, Rayn melihat ke arahku hingga mata kami saling bertabrakan. Dan tentunya langsung membuatku tersadar juga salah tingkah.

"Kenapa?" Tanyanya kebingungan setelah mendapati aku menaruh pandang sejak tadi.

Aku yang kikuk beralih meraba meja mencari sebuah pensil, "Nyari pensil," jawabku kikuk.

Rayn tersenyum sekilas, kemudian menunjuk area rambutku. Yang membuatku spontan meraba rambut dan menemukan sebuah pensil di atas telinga.

RAYN [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang