24. Maaf

826 68 2
                                    


"Vi belum ngabarin... apa dia masih di jalan?" gumam Rayn ketika langit sudah mulai menggelap dan gadis itu belum juga memberikan kabar.

Sesekali Rayn duduk dan berdiri seperti orang kebingungan. Di ruangan lukis dia termenung. Kembali, ancaman Laura menghantui pikirannya yang semakin kalut. Dia takut terjadi apa-apa dengan Vi di jalan. Karena sudah hampir pukul 17.35 dan tidak ada kabar sama sekali.

Beberapa kali Rayn mencoba menghubungi namun tidak ada jawaban. Semua usahanya terasa nihil. Tanpa berpikir panjang Rayn keluar dari ruangan kemudian berlari ke rumah Vi untuk mencari tahu keadaan gadis itu.

Napasnya terengah-engah ketika dia baru saja sampai di depan gerbang rumah Vi. Netranya mendapati rumah yang gelap gulita seperti tidak ada penghuninya. Hanya lampu terasnya saja yang menyala.

Gerbang rumah juga digembok. Dan itu artinya si pemilik sedang tidak ada. Rayn semakin khawatir.

Beberapa detik kemudian dia teringat saat berkunjung kemari terakhir kali, ibu Vi memberikan nomor teleponnya berjaga jika sewaktu-waktu ada perlu.

Bergegas Rayn menghubungi.
Nomor itu berdering sebentar kemudian suara pria paruh baya menyahut. Suara itu sedikit berat penuh tekanan.

"Siapa?" Tanya pria itu.

Rayn bingung bukankah nomor ini sudah benar. "Saya Rayn temannya Vi," jawab Rayn.

"Oh, saya ayahnya Vi."

"Ayahnya Vi?"

"Iya, ibu lagi nungguin Vi di dalam jadi saya yang ngangkat teleponnya."

Rayn terkejut. "Nungguin Vi? Apa yang terjadi sama Vi om?"

"Tadi sore Vi kecelakaan sama temannya... sekarang di rumah sakit," jelas ayah Vi yang terdengar menahan tangis.

Mata Rayn terbelalak. "Sekarang Vi dirawat dimana om?"

"Di Rumah Sakit Pelita."

"Makasih om infonya, saya tutup teleponnya." Mematikan panggilan.

Rayn menundukkan kepalanya mengingat apa yang dia remehkan benar-benar Laura lakukan.
Dia mendesah. "Ini salah gue..."



•••

Di ruang Mawar No. 14 Vi dirawat.
Kepalanya diperban karena luka di pelipisnya. Saat ini gadis itu belum juga sadar. Kata dokter membutuhkan waktu sekitar 2 jam agar dia bisa membuka matanya.

Di samping ranjang ibunya menunggu dengan air mata yang terus berderai membasahi pipi. Vi adalah putri sematawayangnya dan saat pertama kali suster mengabari jika Vi mengalami kecelakaan dia sangat shock hingga pingsan beberapa saat. Untung saja ayah Vi sudah berada di rumah saat itu.

Ayah Vi masuk ke ruangan setelah selesai menelepon. "Tadi Rayn telepon," jelasnya kepada istrinya.

"Rayn... dia pasti kaget," ucap ibu.

Di ruangan sebelah Deva dirawat. Kondisinya lebih parah dari Vi. Perutnya memar hingga akan sangat sakit jika dia bergerak nanti. Deva juga kehilangan banyak darah dan masih diberikan transfusi darah.

Terlebih kaki kanannya patah dan dipakaikan gips. Mungkin membutuhkan waktu 6 sampai 8 minggu agar dia bisa berjalan kembali. Saat ini Deva belum juga sadar sama seperti Vi.


Rayn sampai di Rumah Sakit Pelita, tempat dimana Vi dirawat. Bergegas pria jangkung itu mendatangi resepsionis menanyakan di ruang mana Vi dirawat.

Kata petugas, Vi dirawat di Ruang Mawar nomor 14 yang berada di lantai 2.

Setelah sampai di depan pintu ruangan, Rayn melihat sekilas lewat kaca pintu. Dia mendapati ayah dan ibu Vi masih menunggu Vi yang terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Rayn melihat ibu Vi menangis di samping anaknya.

Rayn berbalik, menundukkan kepalanya. "Maafin gue Vi..."

Rayn berjalan pergi. Merasa dia tidak pantas berada di tempat ini.

Di taman rumah sakit Rayn berhenti. Duduk di salah satu kursi yang berada di sana. Menunduk dan mengacak rambutnya frustasi.

"Ini semua salah gue!"

Beralih Rayn mengambil handphone dari saku celana kirinya. Dia berniat menelepon Laura.

Beberapa saat kemudian Laura mengangkat panggilan telepon Rayn.

"Kenapa sayang?"

"Kamu yang lakuin itu?"

"Lakuin apa?"

"Kamu yang buat Vi kecelakaan."

"Omong kosong apa ini?"

"Jangan basa-basi!"

"Aku senang mendengar teriakan kemarahanmu. Benar, aku yang melakukannya. Bagaimana? Sekarang kamu percaya aku tidak pernah main-main."

"Aku tidak akan pernah tinggal diam jika kamu melukai Vi. Kamu lupa?"

"Aku masih ingat. Tapi kamu juga harus ingat, aku bisa melakukan hal yang lebih jahat dari ini. Bisa saja aku membunuh-"

"Jangan pernah sentuh Vi lagi!" sahut Rayn.

"Ada satu syarat yang harus kamu penuhi untuk itu. Tinggalkan gadis itu, kemudian kembali kepadaku."

"Kamu gila?!"

"Kamu tidak bisa menyanggupi ini?" kata Laura, "kalau begitu aku akan berbuat semauku terhadap gadis itu."

"Jangan..." sahut Rayn, "aku akan menuruti syarat itu, berjanjilah jangan mengganggu Vi lagi."

"Baiklah, aku tahu kamu akan mengatakannya. Pilihan yang tepat."

Rayn mematikan sambungan telepon dengan Laura. Dia tidak percaya ada iblis berwujud gadis seperti Laura.

Rayn menundukkan kepalanya kembali. "Maaf... maafin aku Vi... aku nggak punya pilihan."

•••

Pukul 20.15

Perlahan aku mulai membuka mata yang terasa cukup berat. Pandanganku sekilas kabur kala mataku sudah benar-benar terbuka. Kulihat plafon putih di atas sana. Beberapa saat mataku mulai jelas melihat.

Aku menoleh ke sisi kiri dimana ada sosok ibu tertidur dengan menggenggam tanganku. Dan aku juga melihat ayah tertidur di sofa.

Badanku sakit semua. Rasa perih bercampur sesak sedikit menyiksaku. Perlahan aku membuka mulut, tapi rahangku benar-benar sakit saat aku menggerakkannya sedikit saja.

Aku mendesah. "I... bu..." ucapku tak jelas.

Ibu terbangun setelah mendengar suaraku. Dia tersenyum lebar kemudian memanggil ayah. "Yah, panggil dokter yah," titahnya kepada ayah.

"Sayang, ibu disini. Alhamdulillah kamu udah sadar nak," ucap ibu.


"Alhamdulillah, anak ibu sudah baik-baik saja sekarang. Mungkin dia masih kaget dengan kejadian tadi, jadi tolong jangan mengajak bicara banyak terlebih dahulu. Biarkan dia istirahat," jelas Dokter setelah memeriksa.

Kejadian tadi sore masih cukup samar di ingatanku. Aku hanya mengingat saat Deva mengebut ketika motor kami diikuti sebuah mobil.

"Kamu mau minum nak?" tanya ibu membuatku menolehkan mata ke arahnya.

Aku menggeleng. "Rayn..."

Ibu bingung. "Rayn? Kamu nyari Rayn?" tanyanya.

Entah kenapa satu orang yang berada di pikiranku saat ini hanyalah Rayn. Aku berjanji akan mengabarinya malam ini. Tapi aku berada dalam keadaan dan tempat yang berbeda.




Jangan lupa tinggalkan jejak.

RAYN [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang