• EPILOG •

2.2K 101 9
                                    

Hari-hari berlalu hanya menyisakan kerinduan yang berbekas begitu dalam. Kini tinggallah Vi sendirian dengan perasaan yang terus memaksanya bersabar. Semua tawanya seakan terenggut begitu mudah.

Tepat di hari ini pukul 19.00, Art Fair yang sudah ditunggu banyak orang sekaligus peminat seni terkenal sedang digelar.

Mahasiswa jurusan seni dibuatkan lapak sendiri-sendiri untuk memperkenalkan hasil karyanya. Lain dengan yang lain, Vi hanya duduk termenung di atas kursi. Tatapannya kosong mengarah ke depan. Walaupun banyak orang berlalu-lalang namun tetap saja rasa sepi menyelimutinya.

Nadeva yang melihat teman baiknya tengah dilanda kegalauan pun menghentikan sejenak aktivitasnya kemudian menghampiri Vi. Kebetulan lapak mereka bergandengan. "Lo kenapa sih Vi? Senyum dong."

Vi menghela napas. "Kenapa ya Dev di tempat ramai ini rasanya gue kesepian."

Nadeva memeluk Vi walaupun kursi roda nya sedikit menganggu jarak diantara keduanya. "Lo harus bangkit Vi, lagipula Rayn kan masih di bumi. Jadi lo nggak perlu khawatir kalo lo nggak bisa ketemu lagi sama dia."

"Tapi sampai kapan Dev? Gue takut selamanya gue nggak bisa ketemu dia. Dari kemarin aja Rayn udah nggak hubungin gue."

"Waktu yang bisa menjawab semuanya Vi, lo cuma perlu bangkit dan bahagia. Kalo jodoh nggak bakal kemana kok."

Tak berselang Bambang datang menghampiri dua gadis yang tengah duduk gundah di lapak salah satunya.

"Vi, Nadeva, kenapa kalian tidak menawarkan lukisan? Banyak sekali peminat seni disini, jangan sia-siakan mereka," sela Bambang membuat Nadeva sontak menjalankan kursi rodanya kembali ke lapak.

Bambang beralih menatap ke arah Vi yang masih duduk dengan posisi sama. "Vi, ada yang mau saya berikan ke kamu."

Gadis itu mengalihkan pandangannya menatap ke arah Bambang. "Apa pak?"

"Ikut saya sekarang," titah Bambang sembari berjalan.

"Udah ikut aja," teriak Deva membuat Vi beranjak untuk mengikuti langkah Bambang.

Bambang membawa Vi ke arah ruang praktek. Gadis itu sedikit curiga, apa yang akan diberikan dosennya itu. Atau jangan-jangan dia berniat buruk karena setahunya Bambang suka selingkuh dari istrinya, menurut rumor para mahasiswi.

Benar, Bambang masuk ke dalam ruang praktek yang sepi dikarenakan semua mahasiswa fakultas seni sedang berkumpul di tempat acara.

Vi menghentikan langkahnya di ambang pintu. "Sebenarnya apa yang mau bapak berikan? Kenapa kita kemari pak?"

Bambang beralih mengarahkan tubuhnya menghadap Vi. Seketika tubuh gadis itu gemetar hebat, dia takut opini negatifnya benar-benar terjadi.

Bambang mendekatkan langkahnya yang kemudian membuat Vi mundur perlahan ke belakang. "Bapak mau apa?" dengan gemetar Vi juga mengeluarkan keringat dingin karena ketakutan, "Pak jangan kurang ajar!" teriaknya memekik membuat matanya spontan terpejam.

Bambang menyeringai. "Kamu berpikiran apa tentang bapak?"

Mendengar suara gelak tawa pria itu membuat Vi perlahan membuka matanya.

Bambang menyerahkan sebuah kunci yang tergenggam di telapak tangan kanannya ke arah gadis itu. "Buka lemari penyimpanan lukisan."

Vi mengernyitkan dahinya. "Maksud bapak?"

"Ada beberapa hadiah yang tertinggal disana untuk kamu," jelas Bambang.

Vi meraih kunci yang diberikan pria paruh baya di hadapannya itu. "Dari siapa pak?"

RAYN [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang