27. Takut

161 32 0
                                    

Alana kini sudah dipindahkan ke ruang perawatan VVIP. Ia masih terbaring di kasur rumah sakitnya. Tubuh Alana sangat lemah, dokter menyarankan agar Alana di rawat selama beberapa hari lagi.

Dipta duduk di sampingnya sambil mengaduk bubur ayam yang tadi dia beli di depan rumah sakit dan siap menyuapi Alana, "Aaa," titahnya sambil ikut membuka mulut

"Ih gue bukan anak kecil kak..," protesnya

"Buka mulutnya."

Mau tak mau Alana membuka mulutnya dan mengunyah bubur ayam itu.

"Hambar rasanya," Alana menelan buburnya dan mengerucutkan bibir

"Ya nama nya juga lo lagi sakit." jawab Dipta sembari menyuapi Alana lagi

Alana mangut-mangut dan membuka mulutnya untuk menerima suapan Dipta lagi. Alana terlihat berpikir, "Kak?" panggilnya dengan mulut yang masih penuh dengan bubur

"Abisin dulu yang di mulut"

Alana sudah menelan buburnya, "Lo ngeselin." celetuk gadis itu

Dipta berdecak sebal, di satu sisi ia juga senang karena Alana sudah kembali seperti yang dulu.

Javier datang dengan membawa beberapa makanan. Javier menaruh bawaannya di atas meja lalu duduk di sofa sambil melihat interaksi dua anaknya, ia tersenyum.

 Javier menaruh bawaannya di atas meja lalu duduk di sofa sambil melihat interaksi dua anaknya, ia tersenyum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*kira-kira begini ruangannya

"Ayah ada bawa roti kesukaan Alana?" Dipta melihat ke arah ayahnya

"Ada, roti yang isinya matcha kan?" kata Javier memastikan

Meskipun ia dan Alana tidak terlalu dekat, ia masih ingat apa yang putrinya itu suka dari dulu.

Dipta mengangguk dan melihat Alana yang sedang bermain ponsel. Ia menyuapi Alana satu sendok lagi.

"Udah kabarin Renan?"

"Udah," jawabnya sambil membuka mulut dan mengunyah buburnya

"Dia bilang apa?" tanya Dipta

"Kepo," ujar Alana sembari tertawa kecil dan menampakkan deretan giginya

Dipta mengacak-acak rambut sang adik sembari berkata, "Bagus"

Entah itu pujian atau peringatan Alana tidak peduli. Baginya wajah kesal Dipta adalah obat yang bagus untuk sembuh.

Javier dengan senyumnya kini menghampiri mereka, Dipta pun langsung berdiri dan memberikan mangkuk berisi bubur ayam itu kepada ayahnya. Giliran Javier yang duduk dan menyuapi Alana.

Dipta pun mengerti ayahnya ingin bicara berdua dengan Alana, "Dipta keluar sebentar ya yah," pamitnya langsung meninggalkan ruangan bernuansa cokelat itu

"Alana..," panggil Javier lembut

Alana tak sanggup melihat wajah sang ayah dan membuang pandangannya ke sembarang arah. Sedangkan Javier hanya menghela nafas sambil mempertahankan senyumnya.

"Kamu tau kenapa ayah selalu menghindari kamu?"

Pertanyaan yang terlalu tiba-tiba itu membuat Alana hanya terdiam sambil memandang ke arah jendela.

"Setiap ayah melihat wajah kamu, ayah selalu teringat sama bunda mu."

"Ayah terlalu pengecut, maafin ayah ya..," ucap pria paruh baya itu dengan tatapan sayu

Gadis itu langsung mengarahkan padangannya kepada sang ayah. Bisa dilihat Javier, wajah Alana sudah memerah ternyata ia dari tadi menangis.

"Maafin ayah karena udah buat kamu ngerasa bersalah," suara berat itu bergetar

Hatinya teriris melihat putrinya menangis sekarang dan menghapus air mata sang anak.

"Hiks, Alana yang harusnya minta maaf karena udah pergi dari rumah," kata Alana sambil terisak

Javier kembali tersenyum dan menggenggam tangan Alana, "Mulai sekarang jangan merasa bersalah atas meninggalnya bunda kamu. Kamu ngga salah nak, jangan sakiti diri kamu sendiri karena ini." terang sang ayah

"Kamu tau seberapa takutnya ayah jika kehilangan kamu? jangan tinggalkan ayah, ayah ngga mau kehilangan lagi." sambungnya

Kini tangisan Alana semakin keras bak anak kecil yang juga takut ditinggalkan, ia benar-benar bodoh karena berpikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

"Ayah.."

Alana langsung duduk dan memeluk Javier erat. Javier membalas pelukan itu dan mengelus rambut putri kecilnya.

"Ayah janji akan lebih memperhatikan kamu." katanya sembari mencium lembut pucuk kepala Alana

"Alana sayang ayah." ucap Alana lalu tersenyum

"Kalo gitu makan lagi ya?" bujuk Javier ingin menyuapkan sesendok bubur 

Alana menggeleng, "Engga mau, ngga ada rasanya"

Sang ayah tersenyum dan mengambil sebuah plastik berisi roti dan membukanya.

"Makan ini aja ya, kamu harus makan yang banyak," ia lalu memberikan satu roti isi matcha kepada anaknya dan disambut antusias oleh Alana

Alana langsung memakan roti itu dengan lahap. Javier tersenyum melihatnya.

"Ga adil banget Rum, bahkan pada saat makan pun Alana mirip banget sama kamu." gumamnya dalam hati

-

Dipta dari tadi duduk di kursi tunggu depan ruangan Alana. Ia tadi melihat sekilas Alana dan ayahnya saling memeluk satu sama lain. Ia sangat senang karena Alana bisa dekat lagi dengan sang ayah.

Dua lelaki dari ujung lorong berlari kecil menghampiri Dipta.

"ALANA MANA??" tanya Chandra teriak dengan wajah panik

Dipta langsung menjitak kepalanya, "Ini rumah sakit beg* jangan teriak napa," cetusnya

Chandra mengaduh kesakitan lalu terkekeh. Renan yang di sampingnya tidak memperdulikan dan hanya terdiam melihat pintu ruangan itu.

"Masuk gih, Alana udah nunggu lo dari tadi," ucap Dipta

"Duh Alana pasti kangen sama gue..," timpal Chandra percaya diri

"Bukan lo, tapi Renan"

"Tau bang, gue kan ngelawak"

"Ngga lucu."

Javier keluar dari ruangan VVIP itu dan kaget melihat ketiganya sedang berdiri tepat di depan ruangan.

"Loh kenapa ngga masuk?" tanyanya

"Ini baru aja mau masuk om," jawab Renan

"Iya masuk-masuk, yang lainnya mana?"

"Nanti nyusul om," giliran Chandra yang menjawab sambil tersenyum sopan

"Oh ya udah om tinggal dulu ya.."

Javier berlalu meninggalkan ketiga lelaki itu. Renan yang duluan masuk diikuti Chandra dan Dipta. Ketika melihat Alana yang sedang memakan rotinya, Chandra berlari dan menyenggol tubuh Renan yang lebih kecil hingga tubuh itu sedikit oleng.

"ALANA.."

~























Struggle, Love, and Bipolar [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang