ONE

17 6 1
                                    

Awal kisah singkatku ini dimulai saat rasa ingin membalas budi ku yang begitu tinggi. Membantu menemukan penyebab dibalik ditemukannya Dewi dalam keadaan mengenaskan membawaku pada sebuah pengalaman panjang.

Ketika itu aku datang ke rumah keluarga Dewi bersama dengan Zani tentunya. Zani, sahabatku itu juga yang benar benar penasaran dengan hal yang menimpa Dewi. Imajinasi luas dalam otaknya benar benar membuatnya semangat untuk mencari tahu.

Awalnya semua biasa saja, kami datang mengucapkan bela sungkawa kepada kedua orang tua Dewi, mereka pasti terpukul telah kehilangan putri semata wayangnya. Namun semua berubah saat tanpa sengaja kulihat seorang pria datang dengan keadaan kacau menghampiri jenazah Dewi.

Dia tidak menangis, tapi netranya menyiratkan suatu kemarahan, penyesalan, juga ketakutan. Berulang kali bibirnya mengucapkan kata 'maaf' tanpa suara.

Gelagatnya saat itu membuatku curiga hingga terus memperhatikannya sampai acara pemakaman selesai. Ketika semua orang meninggalkan pemakaman pria itu tetap tinggal mematung. Memandang lekat nisan Dewi.

Zani menarik diriku bersembunyi dibalik pohon mangga yang cukup besar dipinggir pagar pemakaman. Ingin mencuri dengar apa yang akan pria itu katakan setelah sedari tadi hanya terdiam.

"Gu-gue gak nyangka bakal kayak gini, Wi."

Akhirnya pria itu bersuara. Suaranya begitu serak seakan menahan tangis. Kalimatnya membuatku memperkuat kecurigaanku padanya.

"Gue gak tahu itu elo... AARGHHHH!!!"

Pria itu berteriak keras, memukul tanah pemakaman Dewi, dengan air mata mengalir keras. Aku menggenggam erat tangan Zani, sembari meringis pelan. Sungguh, baru kali ini aku melihat seorang pria menangis semenyedihkan itu secara nyata.

Aku menoleh menatap Zani, tatapannya juga menyiratkan ketidak mengertian dan mecoba memahami. Begitupun denganku.

Pasti pria itu tahu sesuatu tentang kejadian malam itu. Tersirat dari kata katanya.

"Maafin gue. Lo jadi korban dari masalah gue, maafin gue. Seharusnya gue yang ada di pemakaman ini, bukan lo, ini salah gue. Kenapa lo harus ada disana waktu itu? Andai lo gak ada disana semuanya gak bakalan kayak gini." Lengan pria itu semakin menggenggam kuat tanah pemakaman Dewi. Terisak dengan susah payah. Kepalanya tertunduk dalam.

"Gue pasti masih bisa liat lo ketawa, gue masih bisa liat lo marah marah karena masuk BK, gue masih bisa liat lo pusing mikirin urusan OSIS sampe ketiduran. Gue masih bisa liat lo... bujuk gue buat nikahin elo, padahal lo masih SMA. Tapi, gue janji gue bakal nyari cara supaya kita bisa ketemu...supaya, kita bisa nikah. Gak peduli lo masih SMA, yang penting jaga diri lo baik baik. Gue bakal nemuin lo dan kita nikah... Gue janji!"

Hah?! Setiap kata yang terucap dari bibir pria itu, membuatku termenung, mencoba mencerna apa yang akan pria itu lakukan. Janji yang dia utarakan benar benar membuatku yakin dia berada dititik putus asa.

Saat pria itu melangkah dengan tekad kuat, ingin memenuhi janji yang baru dia buat, meskipun itu sangat mustahil untuk ukuran nalar manusia biasa, Zani melangkah keluar persembunyian dari balik pohon dan menghampiri pria itu.

Sungguh pergerakan gadis satu itu tidak bisa terbaca olehku. Aku melangkah mengikutinya cepat saat Zani sudah berdiri tegap dihadapkan pria itu.

Raut pria itu seketika mematung, ku telan ludah kasar, pria itu pasti panik karena tahu apa yang dia katakan tadi terdengar oleh dua orang.

"Ceritain ke gue apa yang terjadi sama Dewi malam itu!" Zani berucap dengan ekspresi datar. Entahlah apa yang dipikirkan Zani saat bertanya pertanyaan seperti itu.

𝐏𝐄𝐏𝐑𝐎𝐌𝐄𝐍𝐎Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang