NINE

15 4 4
                                    

Baru kali ini aku harus merasakan bagaimana sulitnya menuruni sebuah tebing curam. Alat yang kami gunakan untuk turun pun hanya mengandalkan pohon pohon yang tumbuh dipinggir tebing.

Sulitnya menuruni tebing dengan barang bawaan berat dipunggung membuatku terus mengeluh padahal baru setengah jalan. Ditambah cuaca dingin membuatku harus begitu hati hati mengambil langkah. Baru setengah jalan tebing saja sudah sedingin ini, bagaimana dibawah sana?

Aku heran apa yang dulu dilakukan oleh nenek buyutku bernama Hadria itu sampai bisa menemukan pintu dimensi dibawah sana.

"Bisa berhenti bentar gak?" Zani menghela nafas lelah didepan ku.

Tyrion berbalik menghadap ke belakang lalu mengangguk. Dia melangkah mendekat ke pohon yang cukup besar dan bersandar disana. Zani langsung duduk dengan satu tangan memegang ranting pohon yang cukup besar. Aku tidak melihat kapan dia mengambilnya.

Aku berbalik sedikit ke belakang meminta bantuan ke kakak untuk menuntunku ke pohon yang cukup dekat dengannya. Lalu kami duduk disana.

Kuhela nafas lelah, mengambil botol air minum yang ada di tas Kak Zico. Meminumnya sedikit. Aku takut jika minum terlalu banyak membuatku ingin buang air kecil. Kondisi seperti ini sangat tidak etis jika tiba tiba ingin buang air.

"Masih jauh gak sih? Perasaan kita udah jalan berjam jam," tanya Zani dengan nafas lelah, memandang kebawah sana.

"Iyya nih, masih jauh gak?" tanyaku mengulang kembali pertanyaan Zani.

Tyrion memandang sendu tebing yang cukup gelap dibawah sana. Ternyata sinar matahari hanya bisa sampai ke pertengahan tebing. Lebatnya pohon dan rumput liar dibawah sana membuat cahaya matahari tidak dapat menembus hingga bawah.

"Sedikit lagi."

***

Sedikit lagi menurut Tyrion sangat berbeda dengan ekspetasiku. Kukira sedikit lagi yang diucapkan Tyrion hanya berkisar beberapa kilometer lagi. Tapi ternyata kami masih saja terus berjalan padahal sudah lebih dari tiga jam kami berjalan.

Hari sudah sore sekarang. Cuaca semakin dingin seiring kita terus berjalan kebawah. Kakiku sudah lecet beberapa kali. Bahkan kaki kiriku terasa perih juga mati rasa.

"Kak Zico kaki aku kok mati rasa yah?!" Satu isakkan terdengar dari mulutku. Serius, kakiku benar benar mati rasa karena dingin. Aku bahkan sudah terduduk ditanah lembab yang kuinjak. Meluruskan kaki kiriku, menatap khawatir karena tidak bisa bergerak sama sekali.

Kak Zico bergerak cepat duduk didekat kakiku. Membuka cepat sepatu yang kupakai juga kaos kakinya. Tangisku makin terdengar saat melihat banyak lebam biru disana. Kakiku benar benar kaku untuk digerakkan.

Zani menyodorkan tumbler berisi air hangat. Meminumkannya padaku. Sedangkan Tyrion hanya bisa menatap khawatir kakiku. Aku kembali mengingat kata katanya saat kejadian yang sama tadi  terjadi pada Zani, tapi tidak separah diriku. Ia bilang bahwa andai saja ilmunya tak tersegel akan mudah menyembuhkan juga membawa kami kebawah sana.

Tapi semua itu hanya menjadi andai. Aku mencoba menahan tangis saat Kak Zico memberikan sesuatu di kakiku. Aku tidak tahu namanya apa, sekarang yang kupikirkan hanya terus berdoa dan berfikir positif.

Butuh beberapa menit sampai Kakak selesai memasang perban disana.

"Ini udah mau malem. Kita bermalam disini dulu. Biar kaki Sysy bisa sedikit membaik buat lanjut jalan besok. Kayaknya kita udah mau sampai ke bawah. Aku udah liat tanah datar dibawah." Tyrion berucap sebelum berdiri menghela nafas memandang tajam kebawah.

𝐏𝐄𝐏𝐑𝐎𝐌𝐄𝐍𝐎Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang