TWENTY TRHEE

7 2 0
                                    

Pagi pertama aku bangun di istana mewah Hadria. Bangun dengan perasaan mengantuk berat karena kekurangan tidur.  Ku seret paksa kaki jenjang ku turun dari ranjang, dengan mata masih meredup ingin tidur. Berjalan menggunakan naluri menuju ke pintu kamar mandi terluas yang pernah kulihat.

Tempat merendam diri saja seluas kolam renang dengan kedalaman rendah. Berbagai jenis sabun mandi dalam bentuk cair berjejer rapi disekitar lemari berukuran sedang. Tempat pembuangan hajatnya saja masih mirip dengan yang ada di penginapan, namun dalam versi mewah.

Ku selesaikan urusan mandi ku dengan cepat. Keluar dalam balutan kain agak tebal yang menyerap air. Berjalan dengan wajah cerah setelah merendam diri selama beberapa menit. Membuka lemari pakaian, lalu menarik asal dress berwarna lilac, kesukaan ku.

Mengambil segala keperluan lain untuk pergi menemui Bunda Hadria, tapi sebelum itu aku ingin sarapan sebentar. Aku ingin tahu, bagaimana menu sarapan orang disini.

Setelah merasa cukup ketika melihat cermin, aku mengambil ikat rambut yang ku stok di kantong kecil ransel. Mengikatnya tinggi, lalu menghela nafas. Selesai.

"Sysy..."

Panggilan Zani dari luar membuatku menoleh melihat pintu, di sana Zani sudah berdiri dengan senyum cerah juga baju dress hitam simpel yang ia pakai.

"Eh, Zan. Mau kemana?" Aku melangkah mendekat kearah Zani.

"Sarapan lah, apalagi." Zani memberi senyum pepsodent nya.

"Abis sarapan kita harus nemuin nenek cakep Hadria, kemarin malem dia bilang mau bawa kita ke suatu tempat."

"Kapan lo ketemunya? Perasaan abis nganter gue makan lo langsung ke kamar," Ujar Zani bingung. Kedua alisnya terangkat.

"Pas lo tidur dari sore ampe malem, kemaren."

Zani berfikir sebentar lalu mengangguk. Memberiku kembali senyumnya. Aih, bisa kering gigi anak satu ini jika selalu tersenyum lebar seperti itu.

"Tumben bangun pagi. Biasanya juga kalo lo kebangun malem kayak kemarin, bangunnya siang."

"Gue mandi junub, abis tanggal merah. Sekalian sholat." Zani terkekeh lagi.

"Sholat? Lo bawa mukenah?"

Zani mengangguk. Berteman dengan Zani selama lebih dari lima tahun, membuatku cukup tahu jika Zani salah satu orang yang rajin beribadah. Hanya saja jika aku bertanya kenapa dia tidak mengenakan hijab seperti wanita muslim yang lain, ia selalu mengatakan 'butuh iman kuat kalo mau pake hijab, belum lagi akhlak aku masih lemah banget. Aku untuk sekarang cuma bisa jalanin kewajiban, tapi aku selalu berdoa semoga suatu saat ada orang yang bisa bimbingan aku kejalan yang baik.'

Aku sebenarnya tidak terlalu tahu dengan aturan aturan orang muslim. Tapi sebagai sahabat aku hanya bisa bertoleransi padanya, jika aku sering mengingatkan waktu sholatnya, dia juga selalu menegur ku jika aku hampir mengambil jalan yang salah.

Selalu mengingatkanku akan batasan batasan yang wanita harus ingat, juga aturan dalam agamanya yang menurutku menyenangkan maka aku akan mengikutinya.

"Terus, gue kok gak pernah liat lo pusing gonta ganti pembalut, biasanya juga seharian gue yang pusing liat lo bolak balik kamar mandi."

"Gue pake cup, karena gue kalo mau pergi pergi tapi lagi haid, jalan ninja ya cup." Zani mengangkat bahu.

***

Aku duduk perlahan. Menunggu beberapa menit dimeja makan terpanjang yang sekarang bisa kulihat langsung. Meja panjang dengan kursi tinggi yang mengelilinginya membuatku berdecak kagum.

𝐏𝐄𝐏𝐑𝐎𝐌𝐄𝐍𝐎Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang