FOURTY SEVEN

9 2 0
                                    

"VIOLA!!!"

"Etdah, siapa tuh yang teriak?!"

Zani mendelik heran menutup telinganya. Kami sampai berhenti melangkah karena teriakan keras itu. Dan suara itu berasal dari ruang makan.

"Dari ruang makan. Pasti ada sesuatu."

Aku melangkah cepat membuka pintu ruangan. Mendapati orang yang sudah ramai di meja makan panjang. Mataku membulat sempurna saat beradu pandang dengan serigala putih dengan netra merah menyala.

Samar pandanganku menatap tanya pada orang-orang dibelakang sana. Kaisar Feo yang penuh luka cakaran mengalihkan atensi ku. Apa serigala ini Viola? Lalu kenapa Kaisar Feo sampai dicakar seperti itu?

Ghhrrrrrr....

Geraman keluar dari moncong serigala itu. Apa yang terjadi disini. Bukannya Viola masih terkurung, lalu bagaimana bisa dia ada disini.

"Sy.... Serigala raksasa Sy... Kabur yok, dilahap entar kita..." Zani berbisik pelan dari belakang ku. Aku pun sebenarnya takut. Tepatnya shock dengan penampakan serigala besar yang baru ku lihat nyata saat ini.

Tapi dia itu Viola. Firasat ku yakin akan hal itu. Dan Viola tak lain adalah saudara ku. Aku tidak bisa pergi begitu saja. Masalah ini harus selesai, dan aku juga Zani bisa pulang.

"Zan, lo bisa ke dekat Bunda Hadria. Cepet!"

"Dan ninggalin lo disini? Enggak!"

"Ck, Sy. Dia Viola. Saudara gue dulu. Lo mau balik kan? Ini harus gue lakuin."

Zani diam. Meremas erat tanganku lalu perlahan melangkah ke dekat Bunda Hadria. Viola, dia diam memandang ku. Mata tajamnya seakan siap menerjang. Apa aku bisa mengajaknya bicara baik baik? Sedangkan Kaisar Feo saja penuh luka cakaran seperti itu.

"Viola....ini aku, Sysylia. Adikmu."

Aku terisak. Rasa takut itu hilang, tergantikan dengan rasa rindu dan bersalah. Ingatan bagaimana tak terkendalinya Viola saat perang membuat hatiku seperti dicubit.

Viola pasti tersiksa dengan semua itu. Melawan kubu yang mana ada adiknya juga pasangannya sendiri. Dikurung dalam kondisi masih dalam wujud aslinya.

Perlahan aku melangkah mendekat. Mengulurkan tangan berniat mengelus moncong Viola. Sedikit tersentak saat dia mengeram kembali. Tapi tetap saja telapak ku terulur untuk mengelusnya. Mencoba menciptakan rasa tenang, agar Viola bisa diajak bicara. Aku tahu akan sakit yang ia alami selama ini.

Dan aku merasa bersalah karena bisa menikmati hidup tenang sebagai Sybil, padahal ternyata ada saudara ku yang tersiksa disini.

"Maaf. Aku pergi terlalu lama. Hingga sulit untuk mengunjungi mu. Ingatan ku sempat hilang."

Wujud serigala Viola mulai menunduk. Merubah tatapan yang semula tajam menjadi sendu. Bahkan hingga menitihkan air mata.

Tuhan, jelas sekali banyak penderitaan di sana. Banyak beban berat yang telah dia simpan dalam netra itu. Menyembunyikan nya dibalik tatapan tajam dan sikap kasar.

"Aku tahu kau sakit. Tapi, aku juga tidak tahu harus berbuat apa. Aku mungkin tidak bisa merasakan bagaimana menderitanya Kakak selama ini. Dan apa mungkin jika kita bisa bicara baik baik? Kak.... Jadikan aku sebagai tempat dirimu bercerita. Jadikan aku merasa berguna hidup kembali sebagai adikmu. Biarkan aku menebus segala yang pernah kulakukan padamu dulu...."

Diamnya Viola membuatku merasa ini waktu yang tepat untuk membawanya pergi. Agar aku bisa bicara dengannya berdua.

"Zan, bisa tolong cari kain."

𝐏𝐄𝐏𝐑𝐎𝐌𝐄𝐍𝐎Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang