Sembilan Belas

4 4 0
                                    

Langit sudah gelap ditemani sinar bulan yang menerangi malam itu, tampak seorang gadis yang duduk bersandar pada dinding seraya menengadah ke atas. Filia tengah berada di balkon kamarnya, melihat kerlip bintang yang kini sedikit enggan untuk bersinar terang.

Tatapannya tak berpaling ke atas sana. Pikirannya melayang menangkap kejadian tadi siang, saat sahabat laki-lakinya itu terlihat tak peduli lagi padanya. Apalagi saat ada orang lain yang menggantikan posisinya, entah perasaan macam apa yang kini melanda hatinya. Dadanya terasa sangat sesak jika mengingat hal itu.

“Arghhh Aku kenapa sih,”gumam Lia.

“Kenapa kepikiran itu mulu sih,” sambungnya sembari menarik napas berat.

Lia menggelengkan kepalanya agar pikirannya tak melayang ke sana kemari. Terbesit di benaknya untuk menghubungi Nando saat ini, mungkin jika dia bicara nanti pikirannya bisa sedikit agak tenang.

Lia mencari kontak Nando pada benda pipih miliknya, dan langsung menghubungi Nando. Lia mengerutkan dahinya bingung, mengapa Nando tak menjawab panggilan darinya, padahal nomornya aktif.

Filia memandangi layar ponselnya, “Nando ke mana? Tumben dia tidak angkat telepon aku,” kesal Filia karena Nando tak juga mengangkat panggilan telepon darinya. Filia menarik napas panjang, raut wajah kecewa terpampang jelas pada wajahnya.

Tok ... tok ... tok ...

Suara ketukan pintu dari luar kamar, Lia menoleh ke arah sumber suara.

“Siapa?”teriak Lia dari dalam kamar tepatnya di balkon.

“Ini bibi non Lia, disuruh mamanya non buat makan malam di bawah,” suhut bik Inah asisten rumah tangga di rumahnya.

“Lia belum mau makan bik, ntar aja, bilangin sama mama ya.”

“Iya non, ya udah bibik bilangin.”

“Makasih bik.”

Disisi lain, Nando melangkah masuk pada sebuah rumah yang sering dia kunjungi ini. Tampak dari pintu utama ada dua orang yang sedang bercengkrama di ruang makan.

“Assalamualaikum, om tante,” ucap Nando yang sudah berada di dalam.

“Maaf tadi main masuk aja soalnya tidak ada nyaut dari dalam, maaf ya tan, om,” sambung Nando menoleh ke arah kedua orang tuanya Lia secara bergantian.

Kedua orang tua Lia menoleh ke arah sumber suara, “eh ada Nando, iya tidak apa-apa sini sayang sekalian kita makan bersama,” ujar mama Lia lembut. Papa Lia hanya tersenyum hangat pada pria yang merupakan sahabat dari anaknya itu.

“Buk, non Lianya bilang dia mau makan nanti aja katanya,” sahut bik Inah yang barusan dari kamarnya Lia.

“Tumben tuh anak kenapa dia,” ujar mama Lia sembari mengerutkan dahi.

“Saya permisi buk,”pamit bik Inah dan dibalas anggukan kepala oleh mamanya Lia.

“Mama anterin aja makanan ke kamarnya, biar nanti Lia bisa makan, takut maagnya kambuh lagi,” sahut Papa Lia.

Nando yang menyaksikan itu turut bingung, tumben Lia begini tidak biasanya seperti itu.

Mama Lia sedang asyik menuangkan nasi ke dalam sebuah piring dan mengisikan lauk serta sayuran yang disukai Lia dan segera beranjak meninggalkan ruangan itu, tetapi dengan cepat Nando menghentikan.

“Tunggu tante,” ucap Nando melangkah maju dan menghentikan langkah mamanya Lia, sedangkan mama Lia hanya menaikkan kedua alisnya ke arah Nando seraya beralih menatap suaminya.

“Hmm, biar Nanjo aja tante yang ngasihin ke Lia. Nando sekalian mau ngobrol bersama juga sama Lia,” ujar Nando seraya tersenyum pada perempuan di hadapannya ini.

Mama Lia tersenyum, “Ya udah kalau gitu,” mama Lia sekalian mengambilkan beberapa cemilan dari dalam kulkas dan diberikan pada Nando.

“Ini bawa sekalian buat temen ngobrol kalian,” ujar mama Lia memberikan cemilan.

“Terima kasih tante,” jawab Nando tersenyum simpul menatap mama Lia dan beralih menatap papa Lia, lalu melangkah pergi naik ke atas tangga menuju kamarnya Lia.

Sesampainya di kamar Lia, Nando berdiri dengan nampan yang berisi satu piring nasi yang akan diberikan pada Lia serta beberapa cemilan dan minuman botol.

Tok ... tok ... tok ....

Lia menoleh ke arah pintu yang sedang diketuk, “Apalagi sih bik, Lia belum mau makan ntar aja,” teriak Lia dari balkon kamarnya.

Namun hening tak ada jawaban dari balik pintu itu, namun Lia tak menghiraukannya, dia masih setia duduk bersandar pada dinding balkon kamarnya seraya menatap ke atas. Dia sangka pasti bik Inah telah pergi dari sana.

Tok ... tok ... tok ....

Terdengar suara ketukan lagi, membuat Lia geram dan menarik napas kasar, namun tetap pada posisinya tanpa menyahut orang yang mengetuk pintu kamarnya itu.

Nando memegangi kenop pintu kamar Lia dan ternyata tidak di kunci.

Ceklek,

“Tidak dikunci,” gumam Nando pelan seraya melangkah masuk ke dalam.

Nando mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamar, tetapi tidak menemukan sosok sahabatnya itu. Nando menoleh ke arah pintu balkon kamar Lia yang terbuka lalu menuju kesana, benar orang yang dia cari tengah duduk bersandar seraya melipat kedua kakinya dan seraya menatap ke langit malam.

Nando tersenyum, “Hmm,”

Lia yang mendengar suara deheman itu mengarahkan tatapannya ke arah pintu balkon. Lia kaget membulatkan matanya sempurna melihat sosok yang sedang menatap dirinya.

Lia sontak berdiri dari duduknya,”Nando?” ucap Lia.

“Kamu ngapain di sini, dingin loh,” ujar Nando menatap Lia.

Lia hanya diam tak menggubris, lalu pandangannya beralih pada nampan yang sedang Nando bawa.

“Kamu kenapa kesini?” tanya Lia tanpa menatap Nando.

Lia kembali pada posisi awalnya yaitu duduk bersandar pada dinding balkon kamar, sedangkan Nando masih setia berdiri di sampingnya.

“Kenapa belum makan?” tanya Nando.

“Karena belum lapar,” jawab Lia datar.

Nando mengambil posisi duduk dihadapan Lia serta menaruh nampan yang berisi makanan dan cemilan itu di hadapan mereka, lalu Nando menyendok makanan itu dan mengarahkannya pada Lia.

Lia menatap bingung, “ngapain?”

“Nyuapin kamu, Lia,” ujar Nando.

“Nggak gak usah,” tolak Lia dengan raut wajah datar.

“Ehh tadi adi ada yang telepon aku deh beberapa kali, tetapi sayang tidak diangkat,” ujar Nando dengan nada sindiran. Lia yang mendengar langsung menatap tajam ke arah Nando.

“Giliran orangnya udah di depan mata dicuekin,” sambung Nando. Merasa tersindir dengan ucapan sahabatnya ini, Lia hanya diam tetapi memang benar sih kenyataannya emang begitu.Menoleh ke arah Nando, kini Lia memberanikan diri menatap ke arah Nando.

“Kenapa? Pasti mau nanya gini, mengapa tidak angkat telepon? Benar begitu?” ucap Nando namun Lia tak berhenti menatap manik mata lawan bicaranya ini, namun tak berselang lama Ia memalingkan wajahnya ke sembarang arah.

“Oke aku minta maaf ya, tadi tuh lagi di jalan ke rumah kamu jadi tidak sempat angkat, toh mau kerumah Lia juga,” jelas Nando sedikit tersenyum.

“Terus ngapain kesini?” tanya Lia.

“Nyariin Lia,”

“Ada apa nyariin?” tanya Filia, “Rindu.”

FILIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang