Semacam Prolog.

61 4 1
                                    

Skema Teori. ( 1 )

Setelah beberapa menit lalu keberingasan terjadi, hari ini Gian mulai bersinandung. Lagi. Sanubariku mulai luruh ke dalam nyanyian sendu nya malam itu. Dan didalam salah satu gedung usang ini kami berdua berada. Indonesia–Jakarta Pusat.

Gian. Laki laki yang berusia sekitar dua puluh sembilan tahunan itu sesekali menepuk nepuk meja kayu jati yang telah terpatri jelas di hadapan kami. Mengikuti irama lagu,kedua matanya terpejam erat. Aku hanya dapat memandanginya. Berusaha ikut merasakan.

Dan bersamaan dengan denting jam itu, sedetik. Semenit. Berlalu ke jam. Lalu luluh lantak di titik itu. Mulai tumpang tindih di sana. Aku lagi lagi menatap Gian lamat. Menyuruh diri itu menyudahi nyanyiannya malam ini.

"Ada apa Aim?"
Ujarnya,berseru.

"Siapa orang itu? Aku seperti tidak pernah melihatnya.."
Aku dan Gian bersitatap. Kembali mengalihkan atensi kami kepada sesosok di seberang sana. Laki laki yang mungkin berusia sekitar dua puluh sampai tiga puluh tahunan itu. Bernyanyi riang dengan suara nya yang terdengar sedikit cempreng.

Sesekali mengayunkan jemarinya, mengikuti irama lagu itu. Sesekali menepuk meja kayu di hadapannya. Sesekali kepala nya naik-turun dengan mata terpejam.

Bunga bunga berjatuhan dijalanan. Menunggu mereka merenggut nya. Ku menundukkan kepalaku, berusaha tuk mencari titik kesimpulan itu.

Bunga bunga berjatuhan dijalanan. Menunggu seseorang merenggut nya. Ku memaksa masuk ke sana. Kedalam kegelapan yang menyeruak malam itu. Kedalam kebencian yang memuncak malam itu. Dunia! Biarkanlah aku percaya kepada takdir. Agar bom yang meletus tahun ini tidak menyimpan rasa dengki.

"Dasar! Ikut ikutan saja bernyanyi seperti ku.."

"Ia menyebalkan! Benar begitukan,Aim.."
Aku menggeleng. Tidak tahu jawaban apa yang harus ku berikan kepada orang cerewet ini. Sementara Gian kembali mendengus. Kesal. Karena perkataannya tidak di gubris sama sekali.

"Apa itu lagu orisinil miliknya?"
Aku lagi lagi menggeleng. Tidak tahu.

Mulai membenarkan topi fedora putih milik ku yang miring sesenti. Gian hanya terdiam membisu mengamati. Sesekali menyesap kopi hitam nya yang tinggal seperempat.

"Kau ingat tentang ke Jakarta tahun lalu?"
Ujar Gian,setelah selesai mengamati seseorang diseberang sana. Atensinya mulai teralihkan kembali kearah ku.

"Ingat."
Jawabku selintas lalu.

"Itu ganjil. Mana mungkin seorang manusia bisa memimpikan mimpi yang satu.."

"Buktinya berada di diri kita."
Suara itu mulai memekakkan telinga ku. Derit dari kursi itu. Gian melanggang pergi begitu saja, meninggalkan diriku sendirian. Dengan secangkir kopi yang tinggal bersisa ampas.

Mungkin ia kesal. Karena lagi lagi pembicaraan itulah yang selalu diulas ulas kembali,layaknya sebuah kaset. Secara brutal dan random. Dan mungkin ia kesal kepada dirinya sendiri. Karena lagi lagi,ia yang selalu memulai kata : "kau ingat tentang ke Jakarta tahun lalu?"

Aku mulai menghela napas panjang. Terdengar kaku nan berat. Kembali menatap lurus ke arah seseorang di seberang sana. Di ruangan kerja yang menggelap ini pun, nyanyian sendu daripadanya masih terdengar kasar.

Bunga bunga berjatuhan dijalanan. Menunggu mereka merenggut nya. Ku menundukkan kepalaku, berusaha tuk mencari titik kesimpulan itu.

Bunga bunga berjatuhan dijalanan. Menunggu seseorang merenggut nya. Ku memaksa masuk ke sana. Kedalam kegelapan yang menyeruak malam itu. Kedalam kebencian yang memuncak malam itu. Dunia! Biarkanlah aku percaya kepada takdir. Agar bom yang meletus tahun ini tidak menyimpan rasa dengki.

Skema TeoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang