Seperti Manusia.

0 1 0
                                    

Skema Teori. ( 27 )

Tangan ku tersentuh oleh seseorang. Gumaman tak jelas saling bersahutan. Ketika itu saja,aku mulai menatap lekat wajah nya. Gian.

Lalu mulai menampakkan wanita itu. Agni. Mulutku menghela napas panjang,kemudian berdecih lirih. Kesal.
Dasar Agni. Aku baru saja ingin menyatakan sesuatu untuknya.

Tapi–semua rencana itu gagal total.
"Aim! Kau baik baik saja?"

Mataku mengerjap perlahan-lahan. Kemudian mengaduh kalut. "Ya. Aku baik baik saja,Gian.."
Orang itu mulai merengkuh tubuh ringkih ku kedalam pelukannya. Aku tergagap, tersenyum tipis kemudian. Membiarkan saja.

"Kau membuatku khawatir.."
Ujarnya kemudian. Setelah melepaskan pelukan singkat itu.

"Maaf membuat mu khawatir Gie.."
Ia menggaguk. Kemudian menghela napas lega akan hal yang telah ku katakan barusan.
Kedua mataku menyapu segala sisi sekarang. Dan mulai menyadari sesuatu. Ini bukan di rumah sakit. Bukan juga di tempat aku pertama kali hilang kesadaran.

Jadi,ini dimana?
"Gie. Aku di-"

"Bukan dimana mana. Tempat yang seharusnya kau berada.."
Aku mulai terkekeh. "Apa maksudmu Gie?"

"Seseorang menunggu.."

"Menunggu?" Tepat di belakang Gian. Seseorang tersenyum tipis. Tubuhnya tinggi. Tinggi yang sama denganku. Persis.

Apa? Aku kembali terperangah heran melihat peristiwa ini terjadi. Melihat orang ini dengan teguh masih menatapku. Memangku gitar listrik putih kesayangannya itu.

Meski begitu,kaki ku tak kunjung untuk berhenti berlari. Semakin cepat memacu langkah ku ke arah orang yang tengah tersenyum tipis itu. Jarak antara kami berdua mulai menipis. Sedikit demi sedikit.

Aku menepuk kedua bahu nya kemudian. Topi fedora putih juga berada di pucuk kepala itu. Sungguh! Sangat cocok untuk di gunakan oleh seseorang seperti dirinya. "Akemi?"

"Ya! Ini aku!"
Mulutku mulai terkekeh kecil. Menitikkan air mata yang telah memenuhi pelupuk. Menundukkan kepala ku sembari tersenyum simpul.

Ia masih sama. Orang ini masih sama.
Hari senja. Arti dari nama Akemi itu sangat cocok untuk menyiratkan ketenangan yang ia miliki sekarang. Matanya indah. Laksana buliran bening air di pantai pantai. Pendiriannya kuat. Bak batu batu besar yang melekat di laut laut.

Orang ini yang telah memotivasi ku untuk menjadi seorang pemimpin. Orang ini yang telah mengajarkan ku untuk terus meyakinkan seseorang dengan kata kata.

Tapi apa gunanya itu?
Aku hanya seorang laki laki sarkastik yang tidak mengerti apapun.

"Kemana saja kau?"
Ujarku kembali. Masih terisak.

Akemi mulai menoleh ke arah Gian yang tengah tersenyum lebar. Kembali menatap lekat diriku kemudian. "Kau yang kemana. Kami sudah menunggu di tempat biasa. Ayo latihan lagi Aim. Kita akan jadi band yang keren bersama sama.."

Ya. Itu benar Akemi. Bersama sama. Dengan mu.
Dengan Gian. Dengan Arif.
Aku mulai tersenyum simpul lagi. Menghapus air mataku sesegera mungkin.

Melepaskan kedua genggaman erat ku di kedua bahunya kemudian. "Kemana bocah nakal itu?"

Akemi terkekeh sekarang. Menunjuk seseorang yang telah sepenuhnya terduduk manis di bangku kesayangannya itu. Tengah menyetem melodi di gitar listrik berwarna merah miliknya.
"Kemana aja! Gua tungguin! Menyebelin amat!"

Ujarnya,masih dengan sibuk menyetem melodi itu. Seakan merajuk kembali. Tak menoleh kebelakang menatap ku. Sama sekali.
"Maaf.."

"Halah! Benci gua sama Lo!"
Sekarang Gian dan Akemi kembali terkekeh.
Aku hanya menggaruk tengkuk. Arif telah sepenuhnya berada di hadapan ku. Berdiri tegap begitu saja, meninggalkan kursi yang ia duduki.

Skema TeoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang