Pengorbanan.

0 1 0
                                    

Skema Teori. ( 12 )

"Dimana Herman,Aim?"
Gian bertanya dengan polosnya ke arahku. Beberapa orang yang mengetahui dan mengerti apa telah terjadi hanya dapat menundukkan kepala mereka. Meresapi setiap hal.

"Aim,jawab aku!"

"Ia menginjak ranjau Gian! Kau seharusnya mengerti!"

"Mengerti?"
Gian berdiri kokoh tepat di hadapan ku saat ini. Menatap mataku nyalang kemudian. "Jelaskan secara rinci kepada ku Aim! Mengapa? Bagaimana bisa?"

Helaan napas panjang dariku telah terdengar.
"Mengapa kau tidak mengerti? Ak-aku. Cih! Jika kau mendengar nya pun kau hanya dapat khawatir mengenai hal itu!"

Gian memuncakkan emosinya. Meluap di sana segala hal. Terkait keegoisan yang tengah merancu. Sementara banyak orang tengah  berusaha sebisa mungkin tuk menengahi kami berdua.

"Tolong diam lah sejenak Gie! Jangan membuat ku bertambah bingung! Aku hanya butuh waktu! Tidak bisakah kau mengerti?"
Aku tersadar bahwa ini telah melampaui batas.
Sehingga pandangan ku telah tertancap penuh di kedua bola mata cokelat Gian.

"Maaf.."
Aku menghela napas setelah nya. Lelah akan hal yang mendadak saja menerpa dan menerobos sanubari ku begitu saja. "tidak. Aku yang salah."
Gian kembali tersenyum lebar. Mungkin sekarang ia telah mengetahui,apa yang telah terjadi kepada Si pak tua Herman itu.

"Gie,aku benar benar minta maaf.."
Kali ini rasa bersalah makin menggila. Di ketentuan tertentu aku merasa diriku bukan lah aku. Bahkan mungkin di titik inilah aku merasa begitu.

Gian menggelengkan kepalanya cepat.
"Tidak apa,aku yang salah.."
Bosan. Karena kata itulah yang terus menerus ia lepaskan dari mulutnya. Aku hanya mengangguk puas. "Baiklah. Ayo kita kembali menelisik rumah ini..temukan lah apapun,sekecil apapun! Dan jangan lupa bawa Sadam,juga kelompok nya itu.."

Semua menggaguk. Menyetujui perkataan ku. Beberapa menit berlalu dan derap langkah kaki orang orang yang berkisar sekitar puluhan itu telah siap memberikan keseriusan mematuhi perintah ku. "Gie,kau baik baik saja kan,?"

Gian menolehkan kepalanya cepat. Sepertinya kata pertanyaan tengah berada di benak itu.
"Apa maksudmu Aim?"
Aku terkekeh. "Bukan. Bukan apa apa.."

"Kau kenapa? Siapa Gie?"

"Ya kau lah! Siapa lagi payah.."
Jawaban ku telah mencuat sangat singkat. Sembari membersihkan topi fedora putih yang terkena sedikitnya debu debu itu.

Gian hanya menggaguk dan tersenyum lebar.
"Jadi,sekarang itu adalah panggilan baru ku?"
Aku hanya berdeham. Berusaha sebisa mungkin menjauhkan pandangan ku dari matanya itu.
"Yah–begitulah kira kira.."

"Ki-kita harus pergi menyusul mereka,mari!"
Aku mulai berujar lagi,sama sekali tidak ingin melanjutkan perkataan merancu ini.

"Ayo Gie! Kau tunggu apa lagi!" sambungku cepat. Membuat seseorang yang ku panggil itu berlari kencang ikut menghampiri. Dengan tawa nya yang hampir membuat kedua telinga ku ikut memanas.

"Hey! Kemarilah,ada sesuatu disini.."
Aku menggaguk singkat. Mengerti. Bersegera mungkin mengikuti instruksi dibelakang.

"Apa ini.."
Gian mulai berujar menanggapi perkataan lawan bicaranya. Sementara yang di tatap hanya menggeleng. Tidak tahu. Aku mulai mengambil alih situasi,menerima secarik kertas kuning itu. Berwarna seperti kehidupan yang usang nan lara.

"Polisi akan datang menelisik tempat ini. Lari secepat mungkin ke arah taman belakang. Pastikan seolah kita telah merampas harta rumah ini. Segera putih kan!" (Pakai tulisan miring)

Aku kembali membaca kertas dan tulisan aksara yang secara gamblang di torehkan di sana. Terperangah. Seseorang menuliskan ini. Tapi siapa? Entahlah–aku belum sepenuhnya tahu.

Aku kembali membaca surat dari orang itu.
Dari seseorang yang tak ku kenali itu.

Dan kembali membaca tulisan aksara itu. Terperangah. Seseorang menuliskan ini. Tapi siapa? Entahlah–aku belum sepenuhnya tahu.

Terdengar tegas dan terburu buru.
Tanda sandi itu sepertinya harus benar benar di penuhi oleh nya.
Pesan harus di hapus!

"Ini sandi.."
Aku menyetujui argumentasi Gian. Menggaguk perlahan. "Itu benar Gie.. seseorang yang menulis menyuruh seseorang yang lain untuk menghapus atau menghancurkan surat nya. Itu berarti,ini adalah pesan yang sangat amat penting. Yang tidak boleh siapapun mengetahui nya.."

"Berarti mereka masih berada di sini kan,?"
Aku kembali menggaguk cepat. Sembari menggenggam erat surat itu.

"Benar. Itu berarti mereka benar benar berada disini. Ditempat ini. Ada kemungkinan mereka masih berada di tempat yang belum kita jamah sama sekali.."

"Taman belakang."
Mataku menyapu seluruh ruangan. Meremat kuat surat itu kemudian. Rasa bersalah dan kebencian telah sepenuhnya sempurna memenuhi seluruh jiwa ku.

"Segera ke sana! Mengapa kalian diam saja!"
Semua gelapan. Karena perkataan ku yang terdengar tegas dan kasar itu. Bahkan  Gian menatapku penuh dengan keheranan. Tangannya sedikit tergetar. Mungkin karena terkejut.

Lagi lagi. Setelah beberapa menit kami sampai di sana. Tapi harapan kemenangan yang hampir mustahil membuat ku merasa sangat kecewa. Kami berputar putar di tempat ini sekitar tiga puluh menit,lalu baru mengetahui bahwa mereka masih berada disini. Pasti mereka semua telah melarikan diri.

Beberapa tembok besar terpampang jelas dimana mana. Mungkin ini juga tempat latihan mereka. Bagaimana tidak? Semua serasa terborbardir tak jelas. Ada beberapa granat tangan yang telah tergeletak sembarang di taman belakang ini.

Ketiga reserse yang lain menatap lekat ke segala sisi. Penjuru arah telah di obrak abrik. Sementara Gian masih tepat berada di sisi kiri ku.  Menenteng senjata api nya itu. Dan satu orang yang lainnya.

Sedetik. Semenit.
Rentetan tembakan membuat ku kalut. Ketiga orang reserse yang lain telah di habisi di tempat akibat tembakan kejutan itu. Aku hanya menyuruh Gian tetap berada di belakang ku,menyuruh semua orang berlindung di tembok besar.

Hanya ada tiga tembok. Tapi itu cukup untuk sepenuhnya melindungi raga. "Kita di jebak.."
Aku berujar lagi. Sesekali memperhatikan seorang pembawa sniper di balik jendela bening itu. Dilantai dua, seseorang tengah sibuk sibuknya mencari Terget tangkapan selanjutnya. 

Mereka membuat kami lengah. Lagi dan lagi.
Semua orang ke tempat yang sama di saat bersamaan. Dan menjebak kami ke taman belakang. Otomatis,orang orang di luar sana takkan tahu kami di habisi sepenuhnya di tempat ini. "Apa yang harus kita lakukan? Kita di kepung."

"Tenang saja Gie,kita belum sepenuhnya di kepung. Raf! Aku ingin kau keatas,habisi seseorang yang membawa sniper! Ia  penghambat. Bawa salah seorang rekan mu, siapapun itu! Lakukan lah segera,kita tak punya banyak waktu.." 
Seseorang yang bernama Raf itu kembali menggaguk singkat. Membawa salah seorang rekannya bersamanya.

Sekarang hanya tersisa dua orang reserse. Itu benar, sekarang hanya ada aku dan Gian.
"Kau ingin kemana Gie? Keadaannya telah riskan. Kau tak boleh gegabah.."
Aku mulai menanggapi hal yang ingin dilakukan orang itu. Gian berdiri dari formasi duduknya, menenteng senjata api AK-47 itu. Tersenyum lebar sesaat ke arahku.
"Akan ku habisi mereka Aim! Serahkan kepada ku!"

"Tidak! Tunggu,Gie!"
Saat aku ingin menahan dan menyusul nya,tembakan kejutan itu telah memberikan ku hambatan besar. Langkah ku terhenti seketika itu juga,hanya dapat menatap kaku Gian dengan tangan kiri nya yang telah tercucur darah pekat.

Tapi tidak! Keadaan telah memanas. Walau sependar cahaya dapat memperlihatkan keadaan riskan ini,tubuhku mulai linglung. Tak siap jika Gian akan berakhir di titik ini.

Dan sialnya,satu tembakan jitu mengarah tepat ke perut Gian. Tindakan cepat harus ku ambil!
Apapun yang akan terjadi selanjutnya.

Jika aku akan benar benar mati disini.















Skema TeoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang