Tiga Biji Cermai.

1 1 0
                                    

Skema Teori. ( 18 )

Tinggal di dunia monokrom tanpa warna sedikit pun ini. Sepertinya telah membuat Matahari  bersembunyi,dan pada akhirnya,bayangan menghilang. Membungkus udara sore itu.

Membungkus segala kepelikan yang tengah berhamburan keluar. Dan kami masih disini.
Indonesia, Jakarta pusat.

Mataku kembali menyapu bersih segala hal. Dengan deru napas dari Gian yang berada tepat di belakang leher, membuatku merasa sedikit kurang fokus. Gugup. Juga kesal menjadi satu.

Sadam terkekeh geli karena mengetahui keadaan. Tapi menghiraukannya selintas lalu. Sesekali menyuruhku tuk kembali melepaskan pandangan menelisik ke arah puluhan orang asing di depan kami.

Perkara ini mudah. Sangat mudah. Mataku terus menerus berjalan mengikuti arah dan instruksi dari Sadam. Menyuruh ku mengamati gerak-gerik mereka. Dari titik yang terkecil sampai terbesar sekalipun.

Aku mulai menoleh ke belakang. Ke arah Gian. Tengah terdiam membisu dengan bibir yang terkatup. Entah tidur atau tak sadarkan diri lagi. Selalu sulit untuk menebak orang itu.

"Hanya ada dua pos yang harus diringkus. Salah satu pos disana memiliki kisaran dua puluh lima anggota. Entah bersenjata lengkap atau tidak. Tapi secara logika dan intuisi ku,mereka bersenjata lengkap. Mereka tengah mencari kita."
Mulutku berujar mendadak. Sembari terus menatap lekat guratan wajah Gian.

Mereka tak mungkin datang menghampiri kami  dengan ketenangan dan persiapan yang tidak sepenuhnya di siapkan. Semua pasti telah terencana seefektif mungkin. Dan itulah yang membuat ku berargumen dengan alibi yang meyakinkan.

Sadam mengaguk dan mulai mencatat sesuatu. Di dalam pikirannya.
"Kalau begitu,mari ringkus mereka.."

"Jangan gegabah."
Aku menjawab instruksi Sadam yang mulai menjauh dari kata efektif itu. "Lalu,apa yang harus kita lakukan sekarang?"

Napasku kembali luruh saat menatap Gian. Terbesit singkat didalam benak bahwa orang itu tidak boleh melanjutkan pertempuran ini. Walau tengah panas panas nya itu terjadi.
"Akan ku pastikan dulu.."

"Pastikan apa?"
Sadam kembali bertanya. Sekarang titik kedua bola mata kami telah sepenuhnya sempurna bertemu. Bersitatap cukup lama.

"Mereka anggota dari kelompok mu atau bukan?"
Orang Sumatera itu berdecih lirih. 'Yang benar saja?' mungkin itulah perkataan yang sedari tadi berada di dalam pikirannya.

"Aku sudah bilang kan! Aku tak punya kelompok apapun lagi! Aku yang mengikuti instruksi mereka,dan bukan aku pemimpin dari kelompok itu,mana aku tahu?!"

"Lagipula–aku yakin mereka tidak seberani itu untuk menyerang balik kepada kalian anggota kepolisian. Kami hanya ada beberapa. Kalian? Puluhan! Ratusan! Atau bahkan ribuan!"

"Jadi?"
Mataku kembali menatap lekat orang itu. Sadam hanya terdiam membisu mengamati. Seakan berusaha menyiapkan dirinya sendiri.

"Mengapa kau bodoh sekali? Kau tak mengerti?"

"Jawab saja. Jangan bercanda dengan ku.."
Helaan napas panjang lagi lagi terdengar kasar darinya. Kemudian mulai tersenyum simpul menatap ku kembali.

"Kau dingin. Lebih dari biasanya.."

"Jawab saja pertanyaan ku. Jangan mengalihkan apapun.." Sadam menggaguk singkat. Lalu kembali menatap Gian. Bersandar kepada tembok tembok rumah sakit yang telah setengah meroboh.

"Mereka bukan anggota ku, reserse Aim.."
Kepalaku menggaguk cepat. "Baiklah."
Matanya seakan terus menatap lekat kearah ku. Kali ini terlihat sedikit aneh. Sendu. Bukan Sadam yang kukenal dengan aksi spektakuler dan spontanitas nya itu.

Skema TeoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang