Nyanyian Itu Hanya Asap.

3 2 1
                                    

Skema Teori. ( 3 )

Mereka mulai berguguran dijalan jalan. Malam ini hujan turun. Lagi. Seperti malam sebelumnya. Walau tak terlalu deras benar. Hanya rintikan. Tapi cukup untuk memperindah kemerlip lampu.

"Kau baik baik saja,Aim?"

Perkataan itu meluap. Bersamaan dengan melayangnya matahari. Disembunyikan oleh gumpalan awan yang membumbung tinggi menutupi. Kadang kala,sebuah mendung hanyalah mendung. Tak menyiratkan apapun bagiku.

"Ya. Aku akan selalu baik baik saja."
Ku balas perkataan itu dengan santai. Pelan, Telapak tangan ku mulai menyentuh jendela berembun itu. Dingin seketika menyergap ujung jari,Mengalir ke telapak tangan, melalui pergelangan, menerobos siku,lalu mulai memasuki sanubari. Dan melebur dengan segala asa semua orang.

"Kalau kau baik baik saja. Kenapa masih disana? Kau tidak ingin tidur? Ayolah, tidurlah! Kasusnya bisa kita selesaikan besok!"

Aku menoleh. Menatap heran kedua bola mata orang itu. "Apa kau bisa tidur nyenyak? Jika kalung itu mirip dengan milik seseorang yang pernah berada satu ruangan dengan kita?!"

"Sudahlah..aku hanya ingin tidur. Hal itu bisa dipikirkan esok hari. Ini sudah jam setengah dua! Tidurlah–atau aku akan mencabik tubuh mu!!"

Aku tertegun. Wajah itu sangat menyeramkan. Aku hanya dapat terdiam membisu, sementara ia masih tajam memelototi ku.
"Aku bilang tidur!"

Selesai sudah. Jendela itu akhirnya ku tinggalkan cepat,tanpa membalas perkataannya. Aku langsung bergumul dengan selimut kecoklatan itu. Memejamkan mataku erat erat. Meletakkan topi fedora itu tepat diatas sebuah sofa besar.
Astaga–anak ini ternyata lebih menyeramkan daripada hantu.

Ia mematikan saklar lampu. Terang benderang yang menghilang, membuat bayangan mulai pupus sejenak. "Selamat malam,Aim."
Ucapnya lirih kepadaku. Lalu merebahkan tubuhnya di ranjang yang hanya terpisah beberapa meter dari ranjang ku.

Detik itu juga. Aku mengerti bahwa keheningan pun,mampu menyanyikan sebuah lagu merdu.

Terkadang,aku mulai memikirkan segala hal. Mengulas ulas segalanya. Memutarkan segalanya. Dan aku menyadari,bahwa diriku telah berlama lama di dalam genangan masa lalu. Bak berlama-lama di dalam genangan pasir isap,tanpa melakukan apapun untuk berusaha keluar. Aku memang payah.

Pemikiran itulah yang sedang mengganggu diriku, mengganggu benakku saat ini. Merekalah yang telah membawa pergi kedua kaki ini tuk terus melangkah, sekalipun di dalam lorong lorong gelap itu. Sekalipun hanya ada secercah cahaya di pojok pojok dinding beton itu.

"Kabur?"
Aku gelagapan. Tapi setelah dipikirkan dua kali, sepertinya itu bukan lah suara Gian.
Aku menoleh. Menatapnya lamat lamat. Seseorang berambut cokelat. Tersenyum simpul kearah ku. Dilingkarkannya sebuah gitar akustik disana.

"Ya,Sadam. Bagaimana dengan mu? Kenapa kau tidak bersama Aarav?"

Ia tertawa. Sesekali menepuk pundak kiri ku, sembari terus menyuruh ku untuk berjalan sejajar dengannya. "Apa yang ingin kau lakukan malam malam begini,Aim? Merenung?"

"Seperti itulah."
Ujar ku selintas lalu. Membiarkan ia terus tersenyum simpul kearah ku.

"Akan ku nyanyikan kau sebuah lagu disini,pasti menenangkan untukmu." Aku hanya mengangguk singkat. Menerima tawarannya.

Dibawah sana. Semua orang masih teguh mematikan seperdua kemerlip lampu pagi itu. Seakan tengah membuat sebuah upacara penyambutan,bagi matahari yang akan hadir.

Panorama alam semesta itulah yang membuatku seakan terpaku terlalu lama di tempat ini. Sebuah Rooftop. Membayangkan masa depan yang bayangan nya pun bahkan tak pernah terlihat olehku. Kabur. Bak debu yang lara itu.

Skema TeoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang