Pikiran Ganda.

0 2 0
                                    

Skema Teori. ( 29 )

Rintikan hujan terus menggema akhir akhir ini. Malam ini. Entah mengapa itu lagi lagi terulang. Di hari baik dan di bulan baik. Tangis tak pantas turun.
Tapi hujan menurunkan itu.

Angin dan debu jalan menaburkannya. Klakson menderu kencang, melengking tinggi di angkasa.
Yang paling menakjubkan dari dunia fana ini adalah sebuah kata pengharapan. Berharap tentang segala hal yang tidak kita ketahui.
Menjadi segala muara yang luar biasa itu.

Bermimpi dan terus begitu. Tersenyum dan menari dengan segala alunan musik yang mengguyur.

Selalu begitu. Tak ada kata pesta yang pernah berbubuh noktah. Dan selamanya akan selalu begitu.

Kita bisa membayangkan hujan dengan bola mata. Yang tiba tiba begitu saja mampu menuliskan aksara. Entah kapan saja nanti.

"Dendam itu hanya melahirkan dendam yang lain.."
Hari ini dan tengah malam begini. Sesosok tubuh laki laki separuh baya di samping ku masih saja berceloteh.

Aku hanya menghela napas. Sesekali menggagukkan kepala. Tak tahu lagi harus berbuat apa.
"Iya pak.."
Ujar ku selintas lalu.

Teman teman telah pergi. Tugas katanya.
Gian juga bilang begitu. Aku hanya menemani pak Caraka lagi,di kedai yang bernama 'kopi'
Sangat sederhana. Tapi selalu membuatku terpikat. Ia selalu membicarakan banyak hal.
Tentang ku,tentang mimpi nya dulu, tentang ia yang bertemu istri nya beberapa tahun lalu.

Dan tentang yang lainnya. Banyak.
Sampai tak dapat ku bicarakan satu persatu.
"Pak."

"Saya boleh pulang kan,?"

"Enggak. Tunggu sampai jam setengah tujuh. Masih muda kok kerjaannya tidur–aja.."
Aku mendengus kesal. Kembali mendengar perkataannya itu. Sesekali pak Caraka menyesap secangkir teh hangat dengan gula yang hanya satu sendok.

"Sebenarnya–saya kerja itu untuk apa ya pak?"
Pak Caraka mulai terkekeh. Mulai menatapku lamat. Seperti tengah membuat tatapan itu candaan.

"Saya saja tahu kenapa saya jualan kok!"

"Kenapa pak?"

"Ya karena uang. Apa lagi?"
Aku mulai menghela napas panjang. Menundukkan kepala lamat lamat.

"Pak,saya serius lo ini.."

"Ya saya juga serius!"
Aku rasanya ingin mencengkeram kuat kedua kaki bapak ini. Brutal mengigit nya jika saja ia tidak lebih tua dan lebih bijaksana dariku.

"Banyak yang ingin menjadi seorang seperti kau!"
Aku mulai menoleh sekarang. Mengalihkan atensi ku kepadanya. Lagi.

"Saat kamu sudah menjadi polisi. Kau hanya dengan gampangan saja bilang saya mau keluar! Banyak juga yang mau bela negara Aim! Tidak kamu saja!"

"Saya tahu pak. Hanya. Hanya saja, ketika saya melihat kembali semua yang terjadi satu tahun lalu itu.."

"Memang apa yang terjadi satu tahun silam?"

"Bukan pak. Bukan urusan bapak.."
Aku bangkit. Dengan kekesalan. Itu benar,tak ada yang mengetahui apapun tentang artinya.
Tentang penekanan nya. Tentang melihat secara langsung darah darah pekat bermuncratan.

Bagai air mancur yang indah melengkapi sebuah taman. Aku akan pergi jauh. Jauh dari tempat ini.
Mencari jalan pulang yang harus ketempuh sekarang. Entah apa tujuannya saat ini.

Kaki ku hanya terus menjejak di sebuah trotoar jalanan. Dengan air yang merembes masuk.
Dengan kemeja yang mulai melusuh akibat hujan.
Aku hanya ingin mencari seseorang yang mengerti. Gian.

Skema TeoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang