Skema Teori. ( 14 )
Mata ku mengerjap, dengan sependar cahaya putih di ruangan itu. Kemudian kembali terduduk di atas kapuk lembut ini. Saat aku memulai meraba kepala ini,berada tepat di sana perban yang menutupi. Aku merintih. Merasakan sakit.
Kemudian telapak tangan kanan ku yang tengah di perban sepenuhnya,dan juga infus yang menancap. Topi fedora milikku telah tergeletak tepat di sebelah nakas. Seseorang seperti nya telah mengambilkannya untukku.
Tapi bukan itu yang ku pedulikan saat ini. Hanya ada satu orang yang ada di pikiran ku. Gian. Itu benar,orang cerewet itu. Pada akhirnya kaki ini melangkah perlahan,tertatih tatih mencari orang itu.
Walau tubuhku hanya dapat menopang kepada tembok putih. Sejauh yang ku lewati,aku tahu bahwa tengah berada di dalam rumah sakit saat ini.
Beberapa detik. Berlalu ke menit.
Dan kaca bening nan lebar itulah yang kini mengalihkan atensi ku sepenuhnya.
"Gian?"
Ia terdiam membisu di sana. Masker oksigen memenuhi setengah guratan wajah itu.Aku mengambil kursi setelah memasuki ruangan.
Kursi lipat berwarna hitam dan putih. Menatap lamat lamat wajah nya kemudian. Semu. Aku merasakan hal itu lagi di dalam sini. Di dalam diriku. "Bangun bodoh! Jangan bercanda!""Hey kau mendengar perkataan ku? Dasar orang cerewet, bangun!"
Aku terdiam sedetik. Membisu di sana hanya untuk beberapa saat. "Kau..""Kau tidak boleh selamanya pergi seperti ini,aku seharusnya-"
"Aku yang seharusnya melindungi mu."
Kepalaku menunduk. Rasa bersalah karena semua hal akhirnya ku biarkan terkelupas.
Aku lagi lagi menangis. Herman benar,aku cengeng. Aku benar benar pengecut.Lagi lagi. Sebagai seorang pemimpin. Aku tak dapat melakukan lebih.
Ketidaktegasan adalah sesuatu yang berada di antara diriku. Sadam memang mahir menuaikan harapan dan kata kata penolong kepadaku. Sekarang–menaruh harapan kepada nya,bak tengah menggenggam erat tangkai bunga mawar yang berduri duri.
Membuatku berdarah. Tapi tak kunjung pergi jua. Kupikir–setelah aku melukai dirinya dan menyaksikan Gian yang telah sepenuhnya bersimbah darah waktu itu,ia akan menyerah. Atau setidaknya ia harus meminta maaf. Atau apapun itu!
Helaan napas tersengal-sengal kembali di perdengarkan. Aku linglung. Tapi tetap teguh menundukkan kepala ini disana, di kapuk lembut Gian pagi itu. Dini hari ini,aku merasa akan limbung. Aku ingin Gian melakukan sesuatu hanya untuk ku. Hanya sekali ini lagi saja.
Napas tersengal-sengal lagi lagi terkeluarkan dari mulut ku. "Gian..aku ingin kau menyelamatkan ku lagi. Aku mohon. Tidak perlu selamanya, hanya–hanya untuk kali ini saja.."
Kegelapan menyeruak. Menutupi seluruh pandangan ku sepenuhnya. Dengan perkataan maaf yang mungkin takkan pernah lagi terbalas.
Lagi lagi aku terbangun. Mulai mengumpat kemudian. Seharusnya aku mati saja saat itu,untuk apa seseorang patut menyelamatkan nyawa ku?
"Kau sudah bangun?""Mana G-gian.."
Aku sulit bernapas. Seperti ada sekat yang menghambat kerongkongan ku. Sesekali memejamkan mata erat. Lama aku menggenggam selimut putih polos itu. Menyalurkan rasa sakit bertubi-tubi yang tengah sibuk mendera. Menghiraukan sesosok orang yang tengah menangkup pembicaraan aneh denganku saat ini."Kau baik baik saja?"
Aku berdeham. "Apa aku terlihat baik baik saja di mata mu?" Ia tertawa perlahan. Menggaguk setelahnya. Mungkin merasa maklum atau menyesal karena menanyakan perihal itu kepada orang seperti ku."Gian baik baik saja,jangan khawatir mengenai dirinya.."
"Bagaimana aku bisa tidak khawatir?!"
"Bawa aku melihat nya.."
Sambung ku. Menyingkap cepat selimut yang tengah hangat membalur sekujur tubuhku ini."Biarkan kami sendiri.."
Ujar ku kearah orang itu. Entah siapa. Pandangan ku kabur sejak tadi. Yang ku tahu hanyalah bahwa orang yang membawa ku kemari adalah manusia baik baik. Itulah yang dapat ku ambil dari segala sikapnya kepada ku.Aku telah berada di sini lagi. Kali ini terduduk menggunakan kursi roda itu. Menundukkan kepala ku penuh khidmat. Berbicara walau ia sama sekali tidak menggubris.
"Aku harus nya bertahan..aku meminta maaf kepada mu..tanggung jawab itu,maaf karena aku telah memilih untuk meninggalkannya.."Napasku menderu kencang. Tangan ini kubawa jauh kedalam kebencian abadi itu. Sampai suara itu mulai terdengar lirih. "A-aim.."
Apa?
Aku menoleh cepat. Bersitatap dengan nya lama.
"Gian? Kau tak apa?"
Aku tersenyum lebar. Sangat senang. Tapi senyuman ku tak di balas sama sekali. Gian mengerang menahan sakit. Mulutnya seakan berusaha meraup oksigen itu.Sampai darah muncrat begitu saja dari dalam sana. Masker oksigen itu telah penuh dengan darah pekat saat ini. Aku bersegera melepaskannya. Seperti orang bodoh yang hanya dapat berteriak meminta tolong.
Dokter sesekali mengecek keadaan jantung Gian. Yang masih terkulai lemas dan terdiam mematung diatas ranjang yang bermotif serba putih itu.
Aku dipaksa untuk keluar dari ruangan. Padahal aku masih ingin disini. Melihat tubuhnya itu.
Kaki ku lemas. Pada akhirnya terjerembab ke dalam lantai dan nuansa dini hari ini.Mungkin,jika Norman berada disini. Ia yang akan memukul ku kuat kuat karena menjadi orang yang lemah dan payah. Lalu ia pasti akan cerewet disini,seraya mengguncang guncangkan kedua bahuku kencang.
Berharap aku sadar apa yang tengah ku lakukan. Lalu saat itu terjadi,aku hanya tersenyum kikuk dan menghapus jejak air dimata ini. Dan tersenyum hangat. Itulah yang kemudian aku dapatkan lagi darinya.
Tapi tidak ada apapun sekarang. Sebatas kenangan bodoh yang tak lagi berguna. Aku sudah terlalu banyak menangis,pada akhirnya hanya menatap kosong dibalik kaca lebar itu.
Menampakkan Gian yang tengah bersusah payah. Seorang dokter yang menggunakan defibrillator berteriak. Tak jelas apa yang sebenarnya orang itu teriakkan.
Lalu mataku kembali menatap lantai yang putih dan nampak dingin itu. Aku tidak berani melihat apapun lagi. Aku hanya ingin kita berdua segera pulang. Pulang ketempat yang seharusnya.
Tidak disini. Ditempat lain.Dokter Akre. Begitu semua orang memanggil dirinya. Seseorang yang pertamakali memasuki ruangan itu. Seseorang yang mungkin berusia sekitar empat puluh tahunan itu mulai berbicara.
"Gian baik baik saja. Walau kami hampir kehilangannya. Tapi itu sudah dapat di tangani kembali..jadi ku mohon jangan terlalu khawatir.""Seorang reserse tak boleh menangis.."
Sambungnya,dan aku mulai terkekeh. Mendongak ke atas. Menatapnya sekilas dengan kedua mataku yang telah sembab. "Kau pikir aku apa? Aku juga manusia..."Ia hanya tersenyum kecil. Mungkin tengah mengucapkan sepatah kata umpatan bodoh untuk ku di dalam hatinya itu. "Kau telah di perbolehkan masuk, reserse Aim.."
Aku menggaguk. Mengerti.Saat ini aku kesal. Kesal karena segalanya yang telah terjadi. Dan suatu kesimpulan secepat kilat telah ku bawa,ia lah yang memperkuat keputusan ku ini. Ia lah yang telah membuat kedua kaki ku melangkah perlahan. Menuju kesalahan abadi.
Sebelum nya,aku mengucapkan maaf untuk yang beberapa kalinya kepada Gian. Kepada orang itu.
"Jangan berlagak seperti Dewa! Kau selalu menangani semuanya sendirian!"
Beberapa bulan lalu. Gian mengatakan itu kepada ku,tentu saja juga dengan matanya yang telah sempurna sembab.Tapi itulah yang harus ku lakukan sekarang,aku harus mengakhiri semuanya. Ini tentang tanggung jawab yang sepenuhnya sempurna menggelayuti jiwa ku. Kan ku balas segala hal yang telah terjadi sekarang. Aku harus melakukan hal itu,segera!
Karena Gian teman ku.
Karena itu tanggung jawab abadi milikku.
Karena akulah pemimpinnya.Karena aku.
Semuanya karena aku!
KAMU SEDANG MEMBACA
Skema Teori
Mystery / ThrillerIni hanya tentang sekelompok orang yang mencari tujuan. Mencari jalan pelarian. Dengan Lika-liku kematian. Untuk membiarkan arus dari syair melodi kebencian menuntun mereka. Tuk mencari kembali jalan pulang yang sebenarnya. Ini mungkin hanya tentang...