Langit Menjelang.

0 1 0
                                    

Skema Teori.( 11 )

"Jangan khawatir mengenai kabar ku.."
Seseorang di seberang sana tersenyum simpul.
Udara dingin hari itu mengusap pelan surai surai rambut pirang nya. Tak mengapa walau sekarang wajahnya telah tertutup setengah akibat rambut itu.

Wajah nya yang khas akan selalu ku kenali. Dan mungkin,akan selalu ku nanti.
"Kau..masih terus mencoba untuk baik baik saja. bukan begitu? Norman Antony.."

Ia terkekeh. Menepuk pundak kiri ku perlahan.
"Begitulah.." Ucapnya.

"Untuk seorang badut seperti kita semua. Itu adalah hal yang biasa. Bukan begitu?"
Gian ikut tersenyum lepas. Di sinilah perkataan itu akhirnya mengembang. Sesaat. Layaknya hancur bersamaan dengan semilir angin yang menerpa.

"Aku suka berada disini. Atap gedung ini selalu menyuguhkan panorama yang selalu ku tunggu. Dan kalian tahu apa yang membuat ku bertambah menyukai tempat ini?"

Norman terkekeh. Sementara aku hanya berdecak kesal. Kurasa–kami berdua telah mengerti,apa yang ingin orang ini utarakan.
"Itu karena kalian semua berada disini!"

"Menjijikkan.."
Aku berujar lirih. Atau mungkin terlalu lirih. Lambat laun–tawa yang berdenyut kali ini telah terhenti. Norman akan pergi sekarang. Kemana lagi kalau tidak ke Amerika. Ia berkata akan pulang satu Minggu lagi. Hanya satu Minggu.
Tapi Gian hampir menangis. Dan aku hampir merengek.

Kau tahu? Hanya Norman yang mengerti tentang segala sudut pandang ku. Dari yang normal sampai ke titik tergila sekalipun. Diri itu tetap setia mendengarkan. Gian? Kupikir yang dapat di lakukan oleh nya hanya lah menguap.

Cakrawala makin kuning. Membias di antara wajah kami bertiga. Berhadapan dengan segala harapan menggantung,yang kita biarkan hanyut begitu saja. Kami sibuk menceburkan diri dalam hamparan angkasa yang tengah berganti warna dengan cepat.

"Aku pergi dulu.."

"Sekarang?"
Gian mulai berujar. Tergerak dari duduk nya untuk langsung berhadapan dengan Norman. Ia menggaguk singkat. Tersenyum kemudian.

"Walau tinggi mu itu akan selalu melebihi ku suatu saat nanti. Aku percaya akan ada yang tidak pernah berubah! Sampai kapanpun itu.."
Gian merengkuh tubuh Norman ke pelukannya.
Aku hanya setia mengamati.

Layaknya tengah menonton serial drama. Tapi bedanya,yang memadai untuk menjadi pemain utama di telenovela itu hanya Norman.
Tinggi Norman dan parasnya itu selalu mengingatkan ku dengan pemain tokoh utama di telenovela. Entah kenapa.

"Kau tidak ingin memberikan ku pelukan perpisahan? Muka datar?"
Aku menyeringai. Terlalu aneh untuk orang seperti ku melakukan hal spontanitas. Jadi,aku menolak. Lebih baik aku berjabat tangan dengannya daripada berpelukan. Aku terlalu canggung untuk melakukan perihal itu dengannya.

"Aku akan menunggu mu..."
Norman menggaguk. Tanda terimakasih.

"Saat kalian telah menuntaskan kasus Sadam, Aku ingin kalian mengontak ku. Beritahukan kepada Sadam bahwa aku akan ke Amerika.."

"Tentu saja. Bukan masalah besar, Anthony.."
Norman lagi lagi menggaguk. Melangkah perlahan. Tapi baru setengah langkah pertama,ia menoleh. Mendekati kami berdua bersamaan.

Aku terperangah. Sementara Gian hanya tersenyum lebar. Orang itu,aku baru tahu jika sikap Gian telah menular kepada nya. Itu benar! Sikap spontanitas. Norman merengkuh kami berdua ke dalam pelukannya. Untuk pertama kalinya.

Kepala ku berada di sisi kiri, sementara posisi kepala Gian berada di arah sebaliknya. Norman layaknya seorang Ayah yang tidak ingin melepaskan anaknya masuk ke naungan sekolah.
Bagaimana tidak. Kami harus berjinjit hanya karena tingginya yang tidak sepadan.

Skema TeoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang