Papermint.

3 1 0
                                    

Skema Teori. ( 20 )

Derap langkah kaki pertama miliknya telah di sambut. Dengan senyuman khasnya itu ia memulai sebuah langkah. Tak ada yang berbeda jauh. Benar kata Gian. Mungkin tinggi badannya memang sedikit bertambah,tapi tidak dengan yang lain.

Pada saat itulah angin menerpanya. Wajah dengan segaris mata biru muda itu. Koper berwarna hitam dan cokelat tengah ia genggam erat. Dengan tangan kanannya yang melambai.
Dengan senyuman kaku nya itu. Ia datang. Siap untuk kembali mendengarkan kisah yang telah bertaut di benakku.

Norman Antony itu telah benar benar hadir dihadapan. Senyumannya mulai meluruh sedetik kemudian. Kami berdua hanya keheranan dengan wajah terlipat itu. Untuk pertama kalinya dalam kehidupan ku,  Norman marah. Aku melihat wajah itu sangat kesal. Entah karena perihal apa.

Kedua bola matanya tertuju kepada sesosok di belakang punggung kami berdua. Sadam.
Ia hanya menyeringai. Mungkin telah sepenuhnya terbiasa akan hal macam ini. Kedua polisi berada tepat dibelakang nya,dengan borgol di pergelangan itu.

Sadam hanya dapat menemani kami tuk beberapa saat. Setelah nya ia harus pergi. Kemana lagi jika bukan ke tempat ia harus pulang sekarang. "Tak ingin berhenti menjadi reserse?"
Itu lagi lah perkataan terakhir Sadam sebelum mengucapkan kata sampai nanti. Tentu saja juga dengan kekehannya yang kesekian kali.

"Apakabar?"
Gian merengkuh tubuh itu kepelukan miliknya. Aku hanya berdeham. Membiarkan.

"Baik. Tapi kalian hampir membuat ku kewalahan hanya karena berita itu.."
Aku hanya terkekeh kemudian. Dugaan ku ternyata benar adanya. Gian melepaskan rengkuhannya dari Norman,menatap kami berdua dengan sederet gigi putihnya sekilas. Sepertinya ia merasa sangat senang. Sangat.

Gerbong kereta yang lainnya berlalu. Orang orang mulai berlalu lalang cepat,bak arloji yang tengah ku kenakan saat ini. Kami mulai berjalan beriringan. Dengan Gian yang terus berceloteh panjang sana-sini.

"Kita akhirnya dapat berkumpul lagi. Disini. Ditempat ini.."
Norman tersenyum atas pengucapan Gian. Di atas atap kantor ini lagi. Sebuah Rooftop yang membuat perbincangan hangat ini membumbung tinggi,menutupi awan awan pagi itu.

"Hey Aim,Gian.."
Kami berdua menoleh kearahnya bersamaan. Gian tepat berada di tengah-tengah kami,membuatku sulit tuk dapat melirik sekilas Norman di sebelah kirinya. Aku mendengus.
Sudahlah–aku menatap langit saja.

"Aku menunggu cerita kalian,ingin bercerita sesuatu?" Gian menggaguk antusias. Aku hanya terdiam tak peduli. Walau sama antusias nya.

"Tapi,cerita kami panjang loh!"
Norman terkekeh kecil. Sementara aku hanya dapat tersenyum tipis. Itu benar,kisah kami memang sangat panjang. Mungkin harus benar benar di potong sampai beberapa bagian.

"Aku siap mendengarkan.."
Norman menjawab seraya tersenyum lagi. Menatap kami berdua bergiliran kemudian. Angin berhembus lembut kini. Menghilang tanpa jejak sepeserpun.

Langit biru menampakkan keceriaannya. Sama seperti sesosok di tengah tengah kami saat ini. Gian tersenyum lebar,sesekali terkekeh dengan kisah yang ia ceritakan. Norman mendengar kan khidmat,sesekali juga menggumamkan sepatah kata umpatan tuk Chintya. Wanita itu.

Kali ini aku baru menyadari nya. Bahwa Norman sama seperti kami semua. Sifat kekanakannya masih bertaut di dalam sana. Syukurlah–aku suka Norman yang seperti ini. Seperti dulu. 

Celotehan Gian masih menyergap kedua pendengaran ku sepenuhnya. Gendang telinga ini masih saja menangkap perkataan itu,walau kedua bola mataku seperti menandakan ketidakpedulian terhadap celotehannya pagi itu.

Kemudian kembali memandangi langit biru ini lagi,tak tahu harus ikut bercerita dengannya ataupun tidak sama sekali.

Aku memang sangat merindukan Norman. Tapi tak pernah sanggup mengatakan bahwa aku merindukannya.  Hanya sekedar senyuman tipis dan kata 'selamat datang' lah yang dapat ku uraikan kepadanya. Kedua bola mataku menatap Norman yang tengah sibuk sibuknya mendengarkan. Lalu kembali mendongak. Menatap hamparan langit itu lagi.

Sepertinya semua orang memang benar adanya.
Aku sulit membedakan perasaan dan ekspresi wajah. Sebenarnya apa yang salah denganku?
Aku senang. Tapi bingung tuk menyampaikannya sebagai sebuah ekspresi.

Saat aku kehilangan Akemi ataupun Arif sore itu. Dengan waktu yang bersamaan. Aku bahkan tak menangis,bahkan menintikkan air mata secuil pun tidak. Hanya kosong menatap lekat semua orang. Mengapa aku tidak menangis? Padahal faktanya aku sangat sedih.

Mulai menghela napas berat. Lagi. Kali ini menatap Gian. Hanya untuk beberapa menit, sebelum akhirnya Gian menatapku kembali. Menanyakan kata ada apa denganku. Yang hanya selalu dibalas dengan gelengan kaku.
"Bukan. Bukan apa apa.."

Gian acuh tak acuh. Kembali bercerita panjang lebar. Benar juga–Gian tak tahu menahu soal aku yang hampir menghabisi nyawa Sadam beberapa bulan lalu. Ataupun,soal Sadam yang hampir ikut membunuh ku. Yang Gian tahu hanyalah Aim itu Aim dan Sadam itu Sadam. Hanya akan seperti itu. Seterusnya. Bukan monster yang terpenuhi oleh rasa dendam. Rasa kebencian.

Baguslah–memang hanya itu yang boleh orang ini tahu. Selebihnya,biarkan saja itu hanya menjadi kenangan usang nan bodoh kami berdua. Biarkan saja menjadi rahasia yang tak terbilang. Yang terlupakan sebagai kecerobohan.

Mungkin itulah rahasia dariku untuk Gian. Rahasia terbesar yang selalu membuat ragaku ketar-ketir. Rahasia terbesar dariku untuknya,rahasia terbesar di sepenjuru alam semesta.

Napasku kembali berdengung. Hamparan langit itu menyiratkan sesuatu. Aku mempercayainya.
Karena Akemi yang mengatakan hal itu. Dan karena aku percaya kepada nya. Mungkin aku orang yang terlalu naif,tapi biarlah. Lagipula,semua orang telah mengetahui kalau aku memang seperti ini.

"Ayo kita makan bersama.."
Gian menolehkan kepalanya cepat ke arah ku. Begitupun Norman. Menghentikan sebentar celotehan panjang nya waktu itu.

Mulutku mengembang. Tersenyum simpul. Langit kuning telah membias cepat di sini. Di guratan wajah mereka waktu itu. Sepertinya benar–aku tidak boleh selamanya seperti ini. Aku harus merubah sesuatu di pemikiran kaku nan kasar ku ini.

Telapak tangan kananku merogoh sesuatu di sana. Di dalam saku celana kiri. Mendapati sesuatu. Tiga permen mint ada di sana, hampir setengah nya memenuhi telapak tangan.

Gian mengambilnya perlahan-lahan. Begitupun Si rambut pirang. "Untuk apa bersama sama memakan ini? Hanya satu permen saja,kukira kau ingin mentraktir kami makan di suatu restoran cepat saji.." Norman berujar sekarang,tanpa nada mengejek ataupun sebuah kekehan. Masih sibuk sibuknya melirik permen itu.

"Hanya ingin saja.."
Jawabku singkat,sembari melirik sekilas ke arah Gian. Yang tidak bergeming ataupun mencemooh ku sembari terkekeh. Hanya tersenyum kepada permen itu,kemudian menatap ku lamat.

"Aim pasti punya alasan sendiri kan?"
Ujarnya kemudian. Aku kembali menggaguk.
Senang jika Gian mengerti.

"Kenapa?"
Norman kembali berujar. Menatapku lekat lekat.
Aku sudah bilang,orang ini selalu mengintrogasi ku setiap waktu. Melelahkan.

Aku hanya kembali tersenyum tuk menanggapi pertanyaan menggantung itu.
"Sebelum waktunya habis.." ujarku.

Gian memandangi diriku setelah pengucapan itu sepenuhnya tercuat, berusaha meresapi. Lama ia meremat bungkusan permen yang masih utuh itu. Tersenyum lebar kemudian.
"Baiklah! Ayo makan bersama!"

Bungkusan telah dibuka. Rasa mint yang menyengat lidahku memberikan rasa sensasional. Menyegarkan pernapasan. Aku melirik mereka berdua lagi,hanya sekilas. Lalu tersenyum simpul kembali. Menatap hamparan langit kuning itu lagi.

Gedung gedung menjulang tinggi,menemani awan awan yang membentang. Di pengudara Indonesia, Jakarta pusat. Dengan kekuningan yang membias dan menyebar cepat.

Norman menghela napas panjang. Terdengar di gendang telinga milikku dan Gian. Matanya sibuk mengamati hamparan langit pucat itu kembali.
"Itu benar. Sebelum waktunya habis..."
Ujarnya. Tanpa sama sekali mengalihkan atensi mata itu.

"Ya..sebelum waktunya habis.." Gian menimpali perkataan yang sama dengan Norman. Tanpa sama sekali melirikku sekilas.

Aroma papermint ikut tercuat seiring dengan perkataan itu mengembang. Dengan beberapa menit yang berlalu,membuatku merasa lebih tenang. Selama ada yang mengerti tentang ku. Sampai saat ini. Atau sampai suatu saat nanti.




Skema TeoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang