Cerdas Nan Cerdik.

1 1 0
                                    

Skema Teori. ( 7 )

Masih ada disana. Piano sumbang yang kita tinggalkan. Yang selalu kita tunda tuk benarkan.
Masih ada disana. Terpampang jelas sebuah kenangan bodoh. Dari keberadaan dan waktu.

Lama diriku menggenggam erat sebuah jepretan foto lusuh,dengan noda kopi hitam disudut kanan atas. Dengan tulisan bergaya Milasian Circa tepat di bawah foto itu. Menampakkan guratan wajah seseorang. Siapa lagi kalau bukan kita? Siapa lagi kalau bukan orang orang yang selintas lalu hanya percaya kepada sebuah mimpi yang satu.

Siapa lagi kalau bukan kita? Helaan napas panjang lagi lagi terdengar kasar dariku. Topi fedora itu kembali kutatap lamat lamat. Dengan demikian–aku sepertinya telah menyadari sesuatu.

Orang itu. Mengapa ia mengetahui segalanya tentang diriku dan masa lalu itu? Mengapa ia dengan terang terangan mengakui bahwa dirinya adalah seseorang yang melakukan teror pengeboman akhir akhir ini?

Jika dilihat secara keseluruhan,orang itu adalah seseorang yang mengerti seluk beluk kehidupan ku dan Gian. Hanya tiga orang yang dapat mengetahui perihal itu. Sadam,Herman dan Norman. Salah satu dari mereka pasti telah melakukan hal nekat.

Itu benar,dari tiga orang itu. Pasti ada seorang agen ganda di dalam nama nama yang menyelubungi!

Ini tentang bagaimana ia dapat mengetahui semua titik rencana yang sudah kita rancang sedemikian rupa. Ini tentang bagaimana ia dapat memasuki gedung ini dengan mudahnya,dan tentang bagaimana ia memasuki ruangan kerja ku dan Gian sebegitu cepat nya.

Tapi siapa? Dan mengapa itu dapat terjadi?
Ku tundukkan kepala ku kedalam naungan kebingungan ini. Mencari cara tuk melihat segala sisi. Tapi buta tak lagi terarahkan sama sekali.
Hingga derap langkah kaki seseorang membuat ku mendongak cepat. Bayangan itu dan sosok nya telah datang menghampiri.

Seutas tali senyuman kembali merekah. Ku  perlihatkan kepadanya bahwa aku ini orang yang juga sama ramahnya dengan dirinya. Agar panggilan 'beruang kutub' dari Gian segera terbuang. Jujur saja,aku benci panggilan itu.

"Apakabar Herman? Mengapa kau kemari?"

Kumisnya lebat dan menukik di kedua ujungnya. Wajah nya tidak secerah langit Jakarta hari ini. Senyuman ku tidak di balas sama sekali.

Bahkan,setelah ia terduduk tepat di sisi kiri ku dan meraih sebuah koran pagi kesukaannya. Perihal sajak aksara dan pengeboman meresahkan tahun ini. Itupun tak mampu membuatnya bergeming.

Ku tatap setiap guratan yang berada di wajah menua itu. Pasti aku telah membuat suatu kesalahan berat yang membuat dirinya layaknya batu. Dan senyuman ku layaknya angin sepoi-sepoi. Takkan pernah mampu membuat ia merubah pikiran.

Atensiku teralihkan kepada koran yang tengah ia bolak balikkan secara berkala. Entah koran baru terbit atau tidak. Ia sepertinya tak terlalu peduli akan hal itu. Udara dingin yang membungkus pagi ini seakan jua tak membuat tubuhnya tergerak. Aku hanya terdiam membisu melihat semua yang tengah ia lakukan.

Pada akhirnya menyerah,setelah tak dipedulikan oleh orang tua itu sekitar 30 menit lamanya. Tetapi baru setengah langkah saja, tubuhku membatu. Tertahan oleh seseorang.

Aku menoleh. Herman tengah menatap tajam tepat kearah kedua bola mata cokelat ku. Ia mulai mempererat genggaman tangannya di pergelangan lengan ku,saat diriku mencoba tuk melepaskan genggamannya itu.

Aku hanya dapat bergumam. Gugup tentu saja.
"Gian berkata kepada orang tua ini,kalau kau memasuki ruangan itu.."

Ucapnya,sembari melepaskan genggamannya
Secara perlahan. Kemudian menyuruh ku kembali terduduk tepat di sisi kanannya.
"Aku hanya ingin membantu.."

Skema TeoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang