Kode Pos.

0 1 0
                                    

Skema Teori. ( 25 )

Burung burung berkicauan tanpa ku ketahui nama dari burung burung itu. Tapi tetap saja–mereka terus bertengger manis di segala sisi. Entah terdiam karena apa. Entah sedang ingin menjadi apa. Hanya merenungi makna nya.

Pohon yang rindang di seberang sana mulai menutupi seluruh pandangan mentari siang ini. Jam telah tumpang tindih di sana. Di angka satu tepat siang hari. Lalu buku novel usang itu telah sepenuhnya sempurna tertutup rapat.

Mataku mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Tak ada yang berbeda dan asing. Walau jika itupun hanya secuil. Dan ini membosankan.
Secangkir kopi hitam tanpa gula berada tepat di atas sebuah meja bulat kayu.

Asap yang mengepul membungkus ruangan kerjaku hari itu. "Selamat siang,kawan.."
Ujarku singkat. Mengelus perlahan topi fedora putih itu dan berlalu pergi. Melanggang begitu saja dari apartemen usang ini.

"Selamat siang,Aim!"
Aku menggaguk tanpa ekspresi lebih. Atau bahkan mengucapkan sepatah kata balasan dari sapaan ramah orang itu setelah membuka kenop pintu.

"Ingin membantu?"
Kali ini aku hanya terdiam membisu untuk beberapa menit. Lalu menatapnya lekat.

"Maaf pak. Saya harus bersegera keluar hari ini. Ke kantor–mungkin sore nanti saya pulang."

"Itu pun masih belum pasti. Saya minta maaf."
Aku kembali tersenyum simpul setelah pengucapan kata 'maaf' yang kesekian kalinya beberapa hari terakhir ini.

"Ayolah–hanya membantu ku di kedai. Sesekali saja,temani aku.."
Ekspresi ku kembali tak menunjukkan apapun. Walau jiwa ini merasa sangat bimbang dengan keputusan yang harus ku ambil segera.

"Saya minta maaf pak. Teman teman saya menunggu.." kali ini aku mulai berlalu pergi. Menjejakkan kaki ini dengan perlahan,membuka gerbang hitam itu.

Pak Caraka tersenyum simpul. Sesekali membenarkan posisi duduknya di depan pekarangan apartemen usang milikku.
"Aku akan menunggu mu.."

Kepalaku menoleh cepat,kepadanya yang sudah nyaman terduduk di salah satu bangku kayu itu. "Jangan pak. Saya akan pulang lama.."

"Kalau begitu bantu aku.."
Helaan napas panjang terdengar jelas. Sementara pak Caraka hanya terkekeh khas bapak bapak. "Saya akan coba pak. Tapi tidak lama–apa tidak masalah?"

Pak Caraka bangkit dari duduknya. Menepuk bahu kananku dan menggaguk singkat.
"Tentu saja. Beberapa jam pun tidak masalah."
Baiklah. Hanya beberapa jam.

Buntalan kain celemek bertengger tepat menutupi seluruh pakaian kemeja biru muda milikku.
Sesekali menggoreng beberapa makanan disana.
Semua berlalu lalang,tak ada yang berubah.

Beberapa bangku kayu dan plastik berdiri kokoh nan teguh di segala sisi. Para pekerja itu sesekali menyapa,berlalu lalang membawa nampan nampan yang sesekali penuh. Peluh terpampang jelas di segala guratan wajah itu. Satu kesimpulan yang dapat ku ambil di tempat ini adalah sebuah kesibukan yang teramat jelas.

Mataku kembali melirik sekilas ke arah sederet rak buku minimalis di sana. Usang dan kuno. Tersembunyi layaknya bayang bayang. Seakan tak ada yang menyentuh itu sama sekali,kecuali satu orang.

Ia melirikku sekilas,dan mulai bertindak tidak peduli. Rambutnya hanya sebatas bahu,memakai celana jeans juga sepatu Kets. Jaket biru tua juga menutupi sebagian tubuhnya. Wanita yang sederhana.

"Ada apa Aim?"
Aku tertegun mendengar suara itu mencuat dari pak Caraka. Lalu menggeleng cepat.
"Siapa orang itu pak?" Balasku dengan pertanyaan.

Ia terkekeh. "Hanya anak kuliahan yang sering kesini.." aku menggaguk. Mengerti.
Lalu kembali menggoreng beberapa lauk pauk.

"Apa saya boleh meminjam buku yang berada disana juga seperti wanita itu?"

Skema TeoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang