Segores Jiwa.

0 1 0
                                    

Skema Teori. ( 10 )

Semua bergerumun menjadi satu titik. Kami lagi lagi bersitatap. Memikirkan suatu pertanyaan.
Yang mungkin akan sama.

Di jalanan yang telah melenggang sore itu,semua sunyi dan sepi. Bahkan mungkin terlalu sunyi dan terlalu sepi. Meskipun,banyak orang yang tengah bersorak Sorai. Merayakan hari jadi seseorang.
Panorama alam nya sama sekali tak berubah walaupun hanya sesenti.

Sedetik.
Ledakan terjadi. Riuh semua orang,bersamaan dengan tepuk tangan sebelumnya. Aku merengkuh tubuh Gian kedalam pelukan ku. Sementara Norman berada di hadapan kami berdua,seakan berusaha tuk jua melindungi dirinya sendiri. Juga kami.

Lorong yang tadinya sepi dan sunyi. Bersih dan tenang. Sekarang riuh dan berantakan. Debu mulai menyesakkan dada ku. Bertebaran asap asap itu. Diriku masih tak mengerti letak bom yang sebenarnya berada. Kami semua tak mengerti.

Bahkan bagi pengamat ulung sepertiku? Lagi lagi,mereka berusaha berkelakar denganku di ambang waktu yang tak lagi menentu.

"Tanah,disana lah bom nya diletakkan.."
Gian berujar setelah terbatuk beberapa kali karena ulah debu debu itu. Jemari telunjuk nya menunjuk sesuatu. Pohon ringkih yang telah sepenuhnya tumbang,yang sebelumnya berada tepat dibelakang para orang orang yang bergerumun.

Tapi bisa jadi argumen Gian kurang tepat. Pohon itu bisa saja tumbang karena ledakan,bukan karena bom nya yang secara signifikan di letakkan di bawah tanah,tempat pohon itu tertanam lekat.

Lagipula jika memang benar adanya,bagaimana bisa mereka meledakkan bom itu? Bahkan angin pun tak dapat menyentuhnya walau hanya secuil.

"Bagaimana mungkin mereka meletakkan bom itu disana Gian? Tak ada yang menyentuh nya sama sekali." Norman berprotes. Sementara aku hanya mengangguk menyetujui perkataannya.

Gian bangkit dari duduknya. Kemudian merogoh sesuatu di saku kiri celananya. Sebuah senjata.
G2 premium kal.9 mm telah benar benar berada di genggaman tangan kanannya saat itu.

"Itu benar..tapi tidak jika seseorang telah menekan remote control peledak nya.."
Gian menunjuk dengan senjata api nya itu,tepat di hadapan kami bertiga. Seseorang yang satu tim dengan kami. Menggenggam sebuah alat remote control peledak bom itu. Sadam,salah seorang ilmuwan forensik tersenyum miris.

"Maaf..."
Gian berlari secepat yang ia bisa,seakan permintaan maaf dari Sadam sudah tak ia gubris sama sekali. Memukul habis habisan orang itu. Seketika itu saja, remote control terjatuh dari genggaman tangannya. Pistol yang Gian genggam erat sepertinya juga telah terjatuh begitu saja.

Sadam tersungkur. Terjerembab di tanah yang penuh dengan darah pekat itu. "Kenapa kau melakukan ini,Sadam? Kau tidak punya otak?!"

Ia terkekeh. "Kau bilang otakku tertinggal di laboratorium berantakan milikku. Sudah jelas sekarang kan? Aku memang orang bodoh yang kalian elu elu kan itu.."

Emosi Gian bertambah memuncak kala Sadam mengatakan sepatah kata lagi. Tangannya seakan tengah menarikan alunan kebencian yang sangat dalam. Tentu saja hal yang wajar tuk melakukan aksi spontanitas ini. Setalah Aarav teman seumuran nya tewas karena ulah teman terbaik nya sendiri.

"Sudah cukup Gian! Yang melakukan pengeboman tahun lalu pasti bukan Sadam..jadi tenang saja! Ia hanya melakukan satu kali pengeboman.."

"Satu kali? Kau naif sekali Norman Antony.. aku lah yang kalian incar itu! Lihat kalung menawan ini..kalian merasa tak asing dengan ini, bukan begitu–Aim,Gian."

Kalung itu bersinar. Terkena sedikitnya sengatan matahari yang tengah menyergap seluruh penjuru.

Aku mulai terdiam seketika mendengar perkataan itu mencuat langsung darinya. "Lawan aku sekarang.. lagipula,tugasku membunuh ketiga orang itu telah terselesaikan. Kalau aku mati pun–itu tidak lagi menjadi masalah besar.."

Skema TeoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang