9. Eat to Live •

781 204 272
                                    

Makan untuk Hidup

"Mengapa detik berganti menit?"

"Mengapa menit berganti jam?"

"Mengapa jam berganti hari?"

"Mengapa hari berganti minggu?"

"Mengapa minggu berganti bulan?"

"Mengapa bulan berganti tahun?"

"Lalu, tahun berganti apa? kematian?"

"Perkembangan yang cukup pesat. Aku tak menyangka Revan sudah mulai berubah," gumam Dion pelan.

"Eh, Bang, si Genda kemana, ya?" celetuk Rio yang mana membuyarkan orang yang umurnya lebih tua di sampingnya itu.

"Memangnya kau siapanya Genda?" respon Dion sinis sambil mengikat appron-nya.

"Maksud Bang Dion? Ya, kan sesama rekan kerja wajar dong kalau aku nanya begitu!" Rio mengernyitkan dahinya heran.

"Hmm, kayaknya ada yang naksir kamu deh, Ri. Kau bisa fokus, tidak?" Dion pun berbisik ke telinga Rio sambil menoleh ke arah Friska yang sedang memanggang daging. Ia jadi tidak enak membuat Rio menekuk wajahnya seperti barusan.

"Apaan sih, Bang. Ga jelas tau! Kau bahkan tak menjawab tiap pertanyaanku! Kusiram celemek kau nih. Maklum, musim hujan kan jarang ada matahari." Rio lantas mendelik tajam ke arah Dion sebal.

"Prinsipnya satu, Ri. Masa mau menunggu si cewek yang nembak. Gak mungkin lah," lontar Dion pada Rio gemas.

"Gak jelas," ketus Rio tak terima.

Kriettt

"Tuh Genda," tunjuk Dion yang melihat Genda masuk ke restoran lewat pintu belakang.

"Hai, semua!" sapa Genda dengan sumringah. Namun, beberapa karyawan di sana nampak dingin menatap Genda.

"Heii! kenapa kalian menatapnya begitu!" bentak Rio dengan karyawan lain yang terlihat tak suka saat Genda datang.

"Sudahlah, salahku juga," lirih Genda tak memedulikan hal itu. Sementara Friska, diam-diam juga mengamati interaksi Rio dan Genda yang menurutnya menjadi semakin dekat sebagaimana rekan kerja. Ah, ia lupa, Rio tak seperti itu padanya, ini lah yang membuat Friska agak lelah mencari perhatian dari Rio mulai sekarang.

"Jangan pergi-pergi lah," gumam Rio sambil memegang pundak Genda dari belakang seraya mengekorinya.

"Sumpah, jijik banget!" dengus Friska kesal. Ia merasa Rio jadi tak normal sejak kedatangan Genda.

"Kau ini kenapa sih, Ri? Ah, lagian uang lebih berharga ketimbang harga diriku kali ini." Nada gadis itu yang tinggi pun beralih merendah. Ia pun menghela napasnya pelan.

"Ah, kau pasti bertengkar dengan bos! Ingat, kalau kau sudah di sini, kau tak akan bisa lolos darinya."

"Sebentar, kau lepas behel, ya?" celetuk Genda pelan memperhatikan deretan gigi Rio yang tak seperti biasanya. 

___

Sialan, kenapa restoran menjadi sepi seperti ini? Ah, daripada pusing mending kutelepon saja adikku.

"Dek, selamat sore," sapa Revan pada orang yang di sana.

"Iya, Kak. Ada apa, ya?" balasnya.

"Kau tidak apa-apa 'kan di rumah bareng bibi? Kakak lagi banyak urusan, kalau sudah kelar nanti kuajak liburan deh ke Bali," ujar Revan pada adiknya.

"Ah, aku baik-baik saja, kak. Makasih, ya. Banyak tugas saja dari sekolah." Ria nama adiknya nampak berujar senang.

Fall on Deaf Ears (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang